Komunitas, TASIKMALAYA : Ratusan penari cilik dari Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya beraksi, mereka mencoba melestarikan Budaya Sunda.
Di tengah arus globalisasi, kebudayaan daerah Tatar Sunda harus tetap dijaga. Salah satunya adalah tarian jaipong yang harus dilestarikan.
Ratusan penari asal Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya, yang tergabung di Sanggar Tari Dewa Motekar menampilkan tarian jaipong. Acara bertempat di Rumah Makan Mang Asep.
Para penari yang kebanyakan anak usia dini ini, tampil menari dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Seperti memakai faceshild dan menjaga jarak.
Penampilan mereka di siang itu selain dalam rangka melestarikan Budaya Sunda, juga merayakan ulang tahun sanggar yang kelima. Serta untuk ujian akhir.
Usi para penari ini mulai dari taman kanak-kanan (TK) sampai tingkat menengah atas (SMA) dan mahasiswa. Ujian akhir ini juga mengangkat khusus Budaya Sunda.
Salah seorang orang tua yang anaknya menari di sanggar tersebut Hercita Giri Prakerti mengatakan, acara ulang tahun tersebut memang dikemas dengan berbarengan ujian akhir tahun sambil berbagi santunan untuk anak yatim.
Jadi, kata dia, Sanggar Tari Dewa Motekar fokus ke tarian tradisional. Salah satunya untuk melestarikan Budaya Sunda.
Walaupun demikian di ujian itu tak semua ikut karena dibatasi sesusi protokol kesehatan.
Dia menambahkan, semenjak pandemi proses latihan pun dibagi persift serta tetap membatasi jumlah peserta. Tapi, kendala itu tidak menurunkan semangat anaknya untuk belajar menari.
Sementara itu, pimpinan Sanggar Tari Dewa Motekar Chris Novika menjelaskan, tidak semua peserta mengikuti ujian akhir ini. Lantaran terhalang situasi pandemi.
Maka yang ikut hanya 150 penari dari 1000 siswanya. Kesulitan saat pandemi harus menjaga jarak sehingga waktunya dibagi.
Terbentuknya Sanggar Tari
Dia mengungkapkan, sanggar miliknya beralamat di Griya Taman Abdi Negara, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya. Sanggar ini khusus mempelajari tarian tradisional.
Sanggar ini, kata dia, sudah terbentuk sejak lima tahun lalu. Jumlah siswanya mencapai 1.000 orang lebih. Yang aktif hingga sekarang mencapau 150 orang.
Chris menambahkan, motivasi mendirikan sanggar tari ini awalnya ketika tahun 2011 lalu dia terpilih mewakili Indonesia menari tradisional ke Thailand.
Hal itu membuat dia lebih bersemangat lagi untuk menari. Hingga akhirnya, pada lima tahun lalu pulang ke Tasikmalaya mendirikan sanggar ini. Agar terus melestarikan tarian budaya tradisional.
Walaupun demikian, ungkapnya, tak mudah membesarkan sanggar tari di tengah perkembangan zaman yang sudah mulai masuk budaya asing.
Namun, peminat dalam seni tari tetap banyak. Jumlah anggota yang mengikutibsanggarnya pun mencapai ribuan.
Padahal, ucap dia, kalau dahulu pas awal sanggarnya berdiri, pada 2015, muridnya hanya tujuh orang.
Namun seiring perjalanan, banyak yang terus belajar tarian tradisional. Banyak yang ingin melestarikan budaya sunda diantaranya.
Dia pun berharap dengan tiap tahunnya dilakukan ujian akhir ini para penari dapat terus meningkat kemampuannya. Walaupun sistem ujian ini seperti di sekolah umumnya.
Jadi para anggota sanggarnya tampil dan dinilai. Kalau nilai dan rangkingnya bagus maka akan belajar tarian lainnya. Kalau belum lulus, anggota akan terus belajar yang diujiankan ini.