Nasional, SAKATA.ID: Sejak dua bulan lalu, harga minyak goreng di kawasan Provinsi Aceh semakin mahal.
Dikutip dari Media Indonesia, kenaikan harga minyak ini terjadi di 23 kabupaten/kota paling ujung barat Pulau Sumatra.
Tidak diketahui secara persis apa alasan harga bahan pokok berbahan crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah itu menjadi naik.
Padahal data menunjukkan, kalau Aceh itu termasuk kawasan yang memiliki kebun sawit paling luas di tanah air.
Pada tahun 2019 lalu, luas kebun sawit di Provinsi Aceh mencapai 321.903 hektare (ha).
Kepemilikan kebun itu sebagian besar dipegang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pengusaha swasta dan hanya piling sedikit punya masyarakat setempat.
Media Indonesia merilis, harga minyak goreng kemasan kualitas, pada awal Oktober 2021 berkisar Rp 16.000 per liter hingga Rp 17.00 per liter.
Tetapi sekarang harganya naik menjadi Rp 17.000 hingga Rp 19.000 per liter.
Sementara, untuk harga minyak goreng curah dari awal bulan lalu Rp 16.000 per kilogram (kg). Sekarang meningkat menjadi Rp 19.000 per kg.
Di kawasan pedalaman atau kepulauan terpencil di Aceh lebih mahal lagi, di sana ada yang menjual minyak goreng dengan harga Rp 21.000 per kg.
Tingginya harga minyak goreng di provinsi yang diapit pesisir Samudera Hindia dan Selat Malaka itu, membuat banyak pemilik warung, industri rumah tangga, dan penjual jajanan gorengan di sana beralih ke minyak curah.
Lantaran, mereka menghemat modal dan sudah tidak peduli lagi dengan kualitas atau kemurnian minyak yang digunakan.
Seperti yang dialamia pejual jajanan gorengan di Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Mauluddin.
Dia mengaku, sejak sebulan terakhir sudah beralih ke minyak curah. Itu pun, ia berbelanja dalam jumlah banyak. Supaya harganya sedikit lebih murah.
Mauluddin mengatakan, apabila ia menggunakan miyak goreng kemasan seperti sebelumnya, tentu modal lebih besar dan pendapatanmya lebih kecil atau bahkan akan merugi.
Dia menghitung, untuk modal beli minyak goreng saja, saat ini, sudah bertambah Rp 10.000 per hari.
Sedangkan harga makanan (pisang goreng, tempe goreng, tahu isi goreng dan lainnya) yang ia jual masih bertahan Rp 1.000 per potong.
Bahkan, ada yang lebih parah lagi. Sejumlah usaha kecil rumah tangga di Aceh harus berhenti produksi.
Mereka tak sanggup lagi mengeluarkan biaya modal yang tinggi. Sementara pendapatan masih sama seperti saat harga minyak goreng belum naik.
Ini dialami oleh Ibnu Bakhtiar, pedagang bahan makanan dan bahan pokok di Pasar Gatot Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Pidie.