Opini, SAKATA.ID: Bagi mereka yang hari ini berusia 50-an, mungkin pemilihan kepala dusun bukanlah sesuatu aneh. Kertas HVS bergambar buah atau tanaman tertentu, dulu banyak dipasang di sudut-sudut jalan sebagai alat kampanye dari masing-masing calon kepala dusun.
Ketika itu, pemilihan kepala dusun berdasar pada Permendagri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, khususnya dalam Pasal 24 yang menyebutkan bahwa Perangkat Desa dapat dipilih dan/atau diangkat tanpa pemilihan sesuai kondisi sosial budaya masyarakat setempat dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan.
Tapi itu dulu, sebelum UU No. 6 Tahun 2014 (UU Desa) ditetapkan. Saat ini, pemilihan kepala dusun sudah tidak relevan lagi dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Namun akhir-akhir ini, ternyata masih ada masyarakat yang secara nyata mengusulkan pengisian jabatan kepala dusun dengan pemilihan langsung. Misalnya yang penulis baca di laman media daring Harapan Rakyat yang terbit 11 juni 2022, bahwa Warga Cisarua Pangandaran desak pemilihan kadus dipilih secara langsung. Kemudian, di laman smartcity.patikab.go.id, pada 30 Agustus 2020, Desa Tlogosari Kabupaten Pati juga mengusulkan hal yang sama.
Nah, keadaan ini membuktikan bahwa hukum juga sebagai fenomena sosial, di mana hukum memang selalu dihadapkan pada perubahan sosial masyarakat yang cenderung dinamis.
Lalu bagaimanakah sebenarnya proses pengisian jabatan kepala dusun ini menurut UU Desa?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah atau nama ‘dusun’ artinya ialah kampung, desa, atau dukuh. Dalam UU No. 6 Tahun 2014, tidak dapat ditemukan pengertian dusun secara ekspilisit, namun dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU Desa lama, telah dicabut) disebutkan, dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa.
Sedangkan kepala dusun adalah sebutan bagi perangkat desa yang memiliki fungsi teknis sebagai pelaksana kewilayahan. Dalam Pasal 4 Ayat (1), Permendagri 84 Tahun 2015 tentang SOTK Pemerintahan Desa, Pelaksana Kewilayahan merupakan unsur pembantu kepala desa sebagai satuan tugas kewilayahan.
Pada dasarnya, wilayah desa terbagi atas beberapa dusun, dan dusun terbagi lagi atas beberapa wilayah Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Peranan unsur pelaksana kewilayahan ini yakni sebagai unsur pembantu kepala desa dalam melaksanakan berbagai kebijakan kepala desa yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan.
Karena sifatnya sebagai unsur pembantu kepala desa, maka secara hierarki posisi kepala dusun berada di bawah dan bertanggungjawab kepada kepala desa. Sehingga, kepala dusun sebenarnya adalah bagian dari unsur perangkat desa.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 61 PP No. 43 Tahun 2014 bahwa perangkat desa terdiri dari : sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis.
Berdasarkan tugas dan kewenangan kepala desa yang diatur dalam UU Desa, bahwa salah satu wewenang kepala desa adalah mengangkat dan memberhentikan perangkat desa.
Maka hanya kepala desa-lah yang berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan kepala dusun dengan mekanisme yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Mekanisme dimaksud adalah penjaringan dan penyaringan perangkat desa. Penjaringan dan penyaringan perangkat desa adalah serangkaian proses seleksi bakal calon perangkat desa menjadi calon perangkat desa, dan calon perangkat desa menjadi perangkat desa terpilih.
Berdasarkan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, bahwa dalam melakukan penjaringan dan penyaringan perangkat desa, kepala desa harus membentuk sebuah tim.
Tim dimaksud adalah panitia yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa, di mana panitia ini bertugas melaksanakan proses penjaringan dan penyaringan perangkat desa.
Lalu bagaimana dengan rekrutmen kepala dusun?
Rekrutmen perangkat desa dalam hal ini kepala dusun, di era UU Desa sekarang sudah tidak relevan untuk dilaksanakan.
Alasan yang pertama, pasca UU Desa ditetapkan maka peraturan perundangan tentang desa yang lama tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan peraturan turunannya yaitu Permendagri Nomor 64 Tahun 1999 sebagai dasar hukum bagi pemilihan kepala dusun.
Kedua, setelah UU Desa berlaku, tata cara pengisian jabatan kepala dusun diatur dengan mekanisme seleksi atau penjaringan dan penyaringan perangkat desa. Karena, sebagaimana telah dijelaskan, kepala dusun atau sebutan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah unsur perangkat desa. Sehingga aturan rekrutmen perangkat desa secara yuridis juga mengikat terhadap pengisian jabatan kepala dusun.
Dapatkah Pilkadus dilaksanakan atas dasar kewenangan desa berdasarkan asal usul desa?
Pasal 1 angka 12 Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 menjelaskan, Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki Desa. Meliputi kewenangan berdasarkan hak asal-usul. Kewenangan lokal yang berskala Desa. Lalu kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah. Oleh Pemerintah Daerah Provinsi. Atau oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sepintas, memang Pilkadus adalah kegiatan desa yang telah ada sebelum UU Desa diberlakukan. Di dalam UU Desa terdapat asas hukum tentang rekognisi dan subsidiritas.
Rekognisi merupakan pengakuan terhadap asal-usul desa. Sedangkan subsidiritas adalah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal. Untuk kepentingan masyarakat desa.
Akan tetapi, proses rekrutmen perangkat desa tidak termasuk kewenangan desa berdasarkan asas rekognisi. Kenapa? Karena, Permendes PDTT No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa menetapkan bahwa kewenangan desa berdasarkan hak asal usul tidak sampai pada proses rekrutmen perangkat desa.
Dalam Pasal 2 peraturan tersebut, secara spesifik hanya memberikan ruang bagi desa untuk menggunakan kewenangan asal usulnya dalam hal sistem organisasi perangkat Desa dan sistem organisasi masyarakat adat.
Sistem organisasi perangkat Desa dimaksud adalah Struktur organisasi yang fungsinya adalah untuk mendefinisikan hierarki dalam struktur pemerintahan desa. Tujuannya adalah untuk menetapkan cara, bagaimana desa dapat beroperasi dalam melaksanakan tugas pemerintahan yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Akan tetapi, Indonesia adalah Negara Hukum, artinya perbuatan apapun yang dilakukan baik oleh perorangan, badan atau kelembagaan pemerintah harus mengacu pada hukum yang berlaku.
Selain itu, Indonesia juga negara demokrasi di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Seperti bunyi Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Apabila masyarakat merasa bahwa sistem rekrutmen kepala dusun dipandang tidak memenuhi rasa keadilan, atau tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan.
Saat suatu Undang-Undang dipandang bertentangan dengan UUD, maka masyarakat dapat melakukan uji materiil (Judicial Riview) kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Tentu, pemohon Judicial Riview harus memiliki argumentasi hukum yang dapat meyakinkan mahkamah.
Berdasarkan analisis yuridis tentang bagaimana proses pengisian kepala dusun dilaksanakan menurut UU Desa, dapat disimpulkan bahwa pengisian jabatan kepala dusun sudah tidak bisa dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung oleh masyarakat.
Karena UU Desa telah menetapkan secara tegas bahwa tata cara pengisian jabatan perangkat desa harus dilakukan dengan mekanisme penjaringan dan penyaringan atau seleksi.
Sehingga, demi terwujudnya supremasi hukum maka penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar, dalam hal ini pengisian jabatan kepala dusun harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
________________
Penulis adalah Wakil Ketua PAC Ansor Karangkamiri, Kabupaten Pangandaran, Bidang Hukum dan Advokasi.