Dapoer Seni Djogja Pentaskan The Jongos di Gedung Pramuka Ciamis

Pentas The Jongos oleh Dapoer Seni Djogja di Gedung Pramuka Ciamis
Pementasan fragmen "The Jongos" oleh Dapoer Seni Djoga dipersembahkan oleh Gerakan Pramuka Kwarcab Ciamis, di Gedung Pramuka Ciamis, Selasa (13/8/2024) malam.

Regional, CIAMIS, Sakata.id:– Seniman dan budayawan Dapoer Seni Djogja, diundang Gerakan Pramuka Kwarcab Ciamis untuk menampilkan pertunjukan teater di Gedung Pramuka Ciamis.

Pertunjukan teater berjudul “The Jongos” ini dipentaskan di depan anggota pramuka, mahawiswa, dan komunitas diskusi Ciamis, pada pukul sembilan malam, Selasa (13/8/2024).

Bacaan Lainnya

Karya seniman Dapoer Seni Djogja tersebut disaksikan langsung Ketua Gerakan Pramuka Kwarcab Ciamis, H. Nanang Permana, MH.

The Jongos yang kental dengan kritik sosial politik dan hukum di Indonesia ini, tidak hanya menjadi ajang pertunjukan seni. Tatapi memiliki fungsi edukasi, dan silaturahmi, antara pelaku seni, warga Pramuka, dan penggerak masyarakat.

Ketua Kwarcab Gerakan Pramuka Ciamis H. Nanang Permana, mengatakan dirinya sengaja mengundang Dapoer Seni Djogja untuk tampil di Ciamis pada Hari Ulang Tahun Gerakan Pramuka ke-63.

Nanang awalnya penasaran dengan diksi “Jongos” pada pemantasan teater Dapoer Seni Djogja. Karena diksi “Jongos” juga sering ia pakai selama menjadi aktivis.

Pada sesi diskusi seusai pementasan The Jongos, Nanang menilai ternyata diksi “Jongos” yang digambarkan dalam pementasan lebih seram dari diksi yang ada di benaknya selama ini.

“Saya sering menggunakan diksi itu, dalam benak saya Jongos itu ada dalam kendali telunjuk di depan mata. Tetapi yang digambarkan pada pentas tadi lebih seram, Jongos dalam kendali pemodal, dan oligarki lingkaran kekuasaan. Dimana hukum pun dikendalikan,” kata Nanang.

Dari kritik sosial politik dan hukum pada pementasan The Jongos ini, Nanang berharap menjadi pemantik untuk menguatkan mentalitas yang berkarakter, berdaulat, berdikari, khususnya pada warga Pramuka di Ciamis.

” Kenapa kami mengundang (Dapoer Seni Djogja-red). Karena Saya sendiri seringkali berteriak dengan baju seperti ini. Bahwa kita ini sedang dipersiapkan jadi jongos-jongos peradaban. Jadi robot-robot peradaban bukan pengendali peradaban. Ini harus menjadi renungan bersama,” kata Nanang.

Gugus Kreatif Caknun Turut Menginisiaisi Pementasan The Jongos

Turut menginisaisi pementasan ini Gugus Kreatif Cak Nun (Emha Ainun Nadjib). Gugus Kreatif Cak Nun mengedepankan nilai-nilai kebersamaan, kebijaksanaan, dan keberlanjutan budaya yang sejalan dengan filosofi Maiyah.

Pentas “The Jongos” adalah manifestasi dari semangat ini, menghadirkan karya seni yang tidak hanya menghibur tetapi juga mendidik dan memupuk rasa solidaritas di kalangan masyarakat.

Bukan Orang Baru Komunitas Cak Nun

Semua pendukung Dapoer Seni Djogja yang terlibat dalam pentas fragmen “The Jongos” bukanlah orang baru bagi komunitas Cak Nun (Emha Ainun Nadjib).

Indra Tranggono, penulis naskah “The Jongos”, Isti Nugroho, sutradara, Eko
Winardi, Joko Kamto dan Nevi Budianto sebagai aktor, Wardono, penata cahaya,
dan Si Us atau Vincensius Dwimawan, semuanya merupakan bagian dari gugus
kreatif Emha Ainun Nadjib.

Indra Tranggono, seorang penulis naskah yang berpengalaman, telah lama
berkecimpung dalam dunia seni dan budaya, menyuarakan berbagai isu sosial
melalui karyanya.

Isti Nugroho, sebagai sutradara, memiliki kemampuan untuk menghidupkan naskah dengan sentuhan artistik yang mendalam.

Joko Kamto, Nevi udianto dan Eko Winardi, seorang aktor berbakat, mampu menghayati peran dengan intensitas emosional yang kuat, sementara Wardono, penata cahaya, menghadirkan pencahayaan yang memperkuat atmosfer dan nuansa
pentas.

Si Us, atau Vincensius Dwimawan, turut memberikan kontribusi kreatif dalam berbagai aspek produksi.

Keterlibatan mereka dalam “The Jongos” menandakan sebuah kolaborasi yang erat dan sinergis antara para seniman dengan komunitas Cak Nun.

Mereka tidak hanya berbagi visi dan misi yang sama, tetapi juga memiliki komitmen untuk mengangkat nilai-nilai kebudayaan dan spiritual yang sejalan dengan filosofi Maiyah.

Pertunjukan ini menjadi bukti nyata bagaimana seni dapat menjadi jembatan penghubung antara individu, komunitas, dan nilai-nilai luhur yang mereka junjung tinggi.

Pada tahun 1980-an, banyak anak muda dengan kegelisahan kreatif menemukan ruang yang kondusif di rumah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di kampung Patangpuluhan, Yogyakarta.

Rumah ini menjadi pusat kegiatan di mana para pemuda belajar dari Cak Nun dan menciptakan interaksi kreatif, melahirkan banyak ide dan ekspresi seni, terutama dalam bidang sastra dan teater.

Di rumah tersebut, suasana yang terbuka dan kolaboratif memungkinkan para
pemuda untuk mengeksplorasi kreativitas mereka secara mendalam. Salah satu kelompok yang sering berlatih di sana adalah Teater Dinasti yang dipimpin oleh Fajar Suharno.

Latihan Jadi Tontonan dan Inspirasi

Latihan rutin mereka tidak hanya memperkaya keterampilan para anggotanya tetapi juga menjadi tontonan dan inspirasi bagi banyak orang yang hadir.

Di antara para aktor yang dikenal akrab di rumah Cak Nun adalah Joko Kamto
dan Novi Budianto, yang keduanya berperan sebagai pemeran utama dalam
pentas “The Jongos.”

Kehadiran mereka di rumah Cak Nun menciptakan suasana yang dinamis dan penuh inspirasi bagi komunitas seni di sekitarnya.

Selain aktor teater, rumah Cak Nun juga menjadi tempat berkumpulnya penyair
dan aktivis.

Simon Hate, seorang penyair yang produktif, dan Toto Rahardjo, seorang tokoh LSM dan aktivis pendidikan, juga sering hadir dan berpartisipasi dalam diskusi dan kegiatan di rumah tersebut.

Keberadaan mereka menambah kekayaan intelektual dan kreativitas yang berkembang di sana. Dengan demikian menjadi titik temu bagi berbagai talenta muda yang mencari ruang untuk berekspresi dan belajar.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *