Internasional, Sakata.id: Pada awal perdagangan Senin (7/6/2021) pagi, saham-saham Asia menguat. Alhasil, dolar goyah setelah laporan data penggajian Amerika Serikat (AS) pada bulan Mei.
Laporan data penggajian AS di bulan Mei tersebut ditunggu-tunggu dengan cemas menunjukan pemulihan di jalurnya. Namun, tidak terlalu panas, sehingga mungkin mendorong kebijakan tapering atau pengurangan pembelian obligasi dari Federal Reserve (Fed).
Melihat hal tersebut, investor penasaran untuk melihat bagaimana saham perusahaan-perusahaan teknologi besar akan bereaksi terhadap kesepakatan G7.
Kesepakatan G7 itu mengenai tarif pajak perusahaan global minimal 15 persen, meskipun mendapatkan persetujuan dari seluruh negara G20 bisa menjadi hal yang sulit.
Indeks berjangka Nasdaq dan S&P 500 sedikit berubah guna meredam reaksi tersebut.
Dalam hal ini yang menarik adalah pergumulan atas rencana infrastruktur yang diusulkan Presiden AS Joe Biden senilai 1,7 triliun dolar AS dengan Gedung Putih, menolak tawaran terbaru Partai Republik.
Alhasil, guna menghentikan kerugian tiga sesi beruntun, indeks MSCI dari saham Asia-Pasifik di luar Jepang naik sebesar 0,3 persen.
Indeks Nikkei Jepang Naik 1,0 persen
Tidak hanya itu, untuk Indeks Nikkei Jepang pun naik sebesar 1,0 persen menyentuh level tertinggi dalam kurun waktu hampir sebulan, dan Indeks KOSPI Korea Selatan naik sebesar 0,7 persen.
Sementara itu, kenaikan angka penggajian yang dilakukan AS sebesar 559.000 meleset dari perkiraan.
Hal tersebut masih sangat melegakan setelah laporan di bulan April yang sangat lemah, untuk di tingkat pengangguran mencapai 5,8 persen menunjukan masih ada jalan panjang guna mencapai pekerjaan penuh The Fed.
Ahli Strategi NatWest Market, John Briggs mengatakan, data tersebut sempurna untuk prospek risiko tipe goldilocks, yang berarti tidak terlalu panas untuk membawa kekhawatiran tapering Fed yang lebih cepat, dan tidak terlalu dingin untuk mengkhawatirkan prospek pemulihan.
“Ya, hal ini yang menyebabkan dolar AS lebih lemah, saham yang lebih baik, memperkuat tawaran sebelumnya pada komoditas-komoditas serta mendorong pasar negara-negara berkembang,” ujarnya.
Sekarang ini akan beralih pada laporan harga konsumen AS pada hari Kamis (10/6/2021) lalu, dimana risikonya adalah angka tinggi lainnya, meskipun The Fed masih berpendapat lonjakan itu bersifat sementara.
Pihaknya pun menduga bahwa pejabat Fed akan membuka pintu untuk membahas tentang tapering pada pertemuan kebijakan bulan Juni, mulai dilakukan pada awal tahun 2022 serta kenaikan suku bunga tidak sampai tahun 2024 mendatang.
Langkah Stimulus Dengan Prospek Tapering
Sementara itu, Bank Sentral Eropa telah mengadakan pertemuan kebijakan pada hari Kamis (10/6/2021) kemarin, secara luas diperkirakan akan mempertahankan langkah-langkah stimulusnya dengan prospek tapering yang masih jauh.
Pada tertemuan kebijakan itu akan menghasilkan pada obligasi pemerintah AS 10 tahun, AS sedikit lebih tinggi sebesar 1,567 persen, setelah menyelam 7 basis poin pada Jumat (4/6/2021) lalu, dan kembali ke bagian bawah kisaran perdagangan tiga bulan terakhir.
Dalam penurunan tersebut, dapat dikombinasikan dengan peningkatan selera risiko, yang menempatkan dolar pada posisi defensif. Indeks dolar terakhir di 90,100 terhadap sekeranjang mata uang, setelah tergelincir dari puncak 90,629 pada Jumat (4/6/2021) beberapa hari lalu.
Pada hari yang sama Jumat (4/6/2021), Euro bertahan di 1,2170 dolar AS, setelah memantul dari palung tiga minggu di 1,2102 dolar AS, kemudian dolar kembali ke 109,52 yen dari tertinggi yakni 110,33 yen.
Penurunan dolar itu sangat membantu pada harga emas menjadi stabil di 1.890 dolar AS per ounce, naik dari level terendah 1.855 dolar AS.
Kemudian, harga minyak pun stabil setelah Brent mencapai 72 dolar AS per barel untuk pertama kalinya sejak 2019 pekan lalu, ketika disiplin pasokan OPEC+ dan pemulihan permintaan melawan kekhawatiran tentang peluncuran vaksinasi COVID-19 global yang tidak merata.
Pada perdagangan Asia pagi ini, Brent naik sebesar 6 sen menjadi 71,92 dolar AS per barel, minyak mentah AS naik 9 sen menjadi 69,71 dolar AS per barel.