“Awalnya desa sebagai entitas sosial kemasyarakatan kini menjadi entitas politik”
Politika, SAKATA.ID: Suara-suara Kepala Desa kembali bergemuruh, mereka meminta perpanjangan masa jabatan yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun.
Para Kepaa Desa yang tergabung dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) itu menyampaikan aspirasinya di depan gerbang DPR RI, Senayan, Jakarta pada Selasa (17/1/2023).
Tuntutan perpanjangan masa jabatan itu mereka gaungkan dengan alasan, kuasa 6 tahun menjadi Kepala Desa terlalu pendek.
Selain itu, 9 tahun dinilai pas untuk melangsungkan pembangunan dan menurunkan tensi persaingan yang muncul imbas dari pemilihan kepala desa (Pilkades).
Ribuan kepala desa mendesak supaya DPR merevisi masa jabatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Usai gelaran aksi di DPR RI itu, bahkan sejumlah kepala desa di Pulau Madura, Jawa Timur, bersepakat untuk menghabisi suara partai politik di pemilu 2024 yang menolak masa perpanjangan jabatan kepala desa itu.
Pesan ini disampaikan kepala desa Tentenan Timur, Larangan, Pamekasan Farid Afandi dikutip dari CNNIndonesia pada Jumat (20/1/2023).
Ia menegaskan, suara Parpol (partai politik) di pemilu 2024 yang tidak mendukung masa jabatan Kades jadi 9 tahun akan diabisi.
Dia juga mengklaim seluruh kepala desa di Madura yang hadir demo ke DPR RI di Senayan kurang lebih sekitar 800 orang.
Menurut Farid, dari jumlah tersebut menandakan bahwa di Pemilu 2024 nanti kepala desa memiliki pengaruh besar terhadap suara dan keberadaan partai politik.
Kepala Desa Dukung Jokowi 3 Periode
10 bulan lalu kepala desa menyuarakan dukungan kepada Joko Widodo (Jokowi) agar menjadi presiden 3 periode.
Para kepala desa itu menggaungkan dukungan tersebut dalam Silaturahmi Nasional Desa 2022 yang digelar Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) di Istora Senayan akhir Maret 2022.
Kala itu, Ketua Umum Apdesi Surtawijaya mengaku mendukung Jokowi dalam pidatonya. Ia beralasan, Jokowi yang juga politikus PDIP itu selalu mengabulkan permintaan para kepala desa.
Desa Adalah Entitas Sosial Kemasyarakatan
Menurut Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo mobilisasi kepala desa demi kepentingan politik menjadi problem klasik ketika desa diberi otonomi lewat Undang-Undang Desa.
“Yang awalnya desa adalah entitas sosial kemasyarakatan. Kini menjadi entitas politik. Itu lebih dampak tak terduga. Karena ketika desa menjadi daerah otonom malah rentan menjadi arena kontestasi kepentingan,” ujar Wasisto dikutip CNN.
Terkait dengan perpanjangan jabatan kepala desa, ia pun mengaku tidak setuju. Apalagi, alasan perpanjangan masa jabatan kepala desa yang digaungkan adalah untuk meredam konflik di desa akibat Pilkades.
Menurut dia konflik yang kerap terjadi imbas Pilkades tidak terlalu tinggi. Seperti halnya Pemilihan Bupati (Pilbup), Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot), maupun Pemilihan Gubernur.
Dia memandang, latar belakang sosial ekonomi masyarakat desa ditambah dengan corak paguyuban membuat efek di Pilkades tidak terlalu tinggi.
Biasanya, kata dia, potensi re-elektabilitas incumbent kepala desa itu juga masih tinggi jika selesai masa jabatannya. Tentu saja, lanjitnya, itu pun diukur dari peforma kinerja kepala desa bersangkutan.
Undang-Undang Tak Melarang Kepala Desa Berpolitik
Ketika kepala desa mendukung Jokowi 3 periode, kritik pun bermunculan. Lantara terlalu jauh kepala desa terjun pada politik praktis.
Namun, bagi Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang tentang Desa tak mengatur dengan tegas larangan kepala desa berpolitik.
Ia menegaskan, Undang-Undang itu hanyalah melarang kepala desa menjadi pengurus partai dan ikut mendukung salah satu pasangan calon pada saat masa kampanye.
Sedangkan, lanjut Tito, Undang-Undang itu tak mengatur misalnya, apabila kepala desa terlibat mendukung seorang tokoh politik di luar masa kampanye.
Tito juga menyampaikan, pihaknya tak berwenang menjatuhkan sanksi kepada aparat desa yang mendukung Jokowi 3 periode.
Tito justru mengeluarkan pernyataan terkait amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurut dia, aebenarnya tidak tabu. Lantaran, hal itu pernah dilakukan dan tidak ada yang menyalahi aturan.
Justru, kata dia, hal yang tabu dan tidak boleh diubah hanya pembukaan UUD 1945 dan kitab suci.