Nasional, SAKATA.ID: Organisasi nelayan dan petani terkemuka, Gerbang Tani minta Presiden Joko Widodo atau Jokowi batalkan regulasi izin pemanfaatan pasir laut.
Sebelumnya, Jokowi menekken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Baru terbit tanggal 15 Mei 2023.
Kebijakan ini mengizinkan pasir laut untuk diekspor. Itu tertuang dalam Bab IV. Pasal 9 nomor 2 huruf d. Yakni tentang pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.
Kebijakan ekspor pasir laut ini Jokowi keluarkan setelah 20 tahun dilarang. Gerbang Tani (Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia) pun menentang keputusan ini.
Ketua Umum Gerbang Tani Idham Arsyad mendesak Jokowi untuk menganulir pemberlakukan PP Nomor 26 Tahun 2023 tersebut.
Idham menilai, pembukaan izin ekspor pasir laut bakal memicu pengrusakan wilayah pesisir dan sumber daya yang ada di dalamnya secara besar-besaran.
Secara tidak langsung, tegas Idham, aturan itu pun memberikan peluang kepada pelaku usaha untuk melakukan kegiatan reklamasi, tak terkecuali reklamasi pantai.
Menurutnya, ada beberapa wilayah di dalam negeri yang memerlukan pasir laut dengan jumlah besar seperti yang terjadi di bagian utara Jakarta.
Ia mengatakan, penyedotan pasir laut menggunakan kapal isap jelas akan berimbas pada rusaknya wilayah tangkapan ikan nelayan kecil yang beroperasi di perairan <12 mil.
Idham menegaskan, apabila kedua hal ini diabaikan, niscaya konflik horizontal tinggal menunggu waktu saja. Maka dari itu, Gerbang Tani minta Jokowi batalkan regulasi izin ekspor pasir laut.
Ia mengungkapkan, pertambangan pasir di pulau-pulau kecil sejatinya dilarang di dalam Pasal 35 huruf i Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Di dalam Pasal 35 huruf i, aturan itu menyatakan bahwa ‘melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya’.
Menurut Idham, jika dipahami secara utuh, pelarangan ini bertolak dari fakta kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat pesisir.