Politika, SAKATA.ID: Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan (Gerbang Tani) menilai Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi gagal dalam membangun kemandirian dan kedaulatan pangan.
Hal itu tercermin dari kebijakan untuk melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton dan gula kristal hampir 1 juta ton pada tahun ini.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gerbang Tani Idham Arsyad menjelaskan, alasan impor yang dilakukan Pemerintah adalah untuk menjaga cadangan nasional.
Idham menegaskan, sesungguhnya kebijakan impor itu memberikan gambaran kepada rakyat Indonesia bahwa sebenarnya selama kekuasaan pemerintahan Jokowi, kemandirian dan kedaulatan pangan tidaklah menjadi prioritas.
Padahal, Idham mengingatkan, kedaulatan pangan tercantum dalam program kerja pemerintahan Jokowi.
“Akan tetapi, dalam praktiknya. Semakin menjauhkan kita untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan,” ujar Idham dalam pres rilisnya yang diterima SAKATA.ID pada Jumat (6/1/2023).
Ia mengungkapkan, apabila melihat beberapa kejadian besar dunia belakangan ini, sesungguhnya bisa menarik palajaran penting yakni pertama adanya Pandemi Covid-19.
Bencana Covid-19 telah mengakibatkan gangguan terhadap pangan secara global, baik dari sisi produksi dan ketersediaan pangan. Terutama dari sisi distribusi yang mengalami hambatan, sehingga krisis pangan global menjadi ancaman bagi negara-negara di dunia.
Kedua, lanjut Idham, krisis politik akibat perang Rusia dan Ukraina. Gejolak kedua negara ini mengakibatkan pupuk jadi persoalan global. Dan memicu harga pangan meningkat.
Lalu yang ketiga, dampak dari perubahan iklim yang sangat berpengaruh terhadap produksi pangan global, termasuk Indonesia.
“Bagi negara-negara yang mengandalkan impor. Kejadian besar itu harusnya menyadarkan para pemimpin. Dalam membuat kebijakan. Bahwa ketergantungan pada impor sangat berbahaya. Dan berdampak serius terhadap stabilitas ekonomi politik,” beber Idham.
Ia menilai, slaah jika Pemerintah memiliki cara pandang terhadap pangan yang hanya ditempatkan sebagai produk yang harus tetap ada di pasar untuk menjaga kelangkaan.
“Dengan cara pandang seperti itu. Lahan pertanian kita semakin menyusut. Industri ekstraktif, terus menggila dan ketersediaan pangan kita hanya diselesaikan dengan impor,” kata dia.
Evaluasi Pemerintahan Jokowi yang Gagal dalam Mengelola Pangan
Menurut Idham, ada beberapa indikasi penyebab kegagalan Pemerintahan Jokowi dalam mengelola pangan.
Yang pertama adalah adanya Undang-Undang Cipta Kerja. Kehadiran aturan ini menunjukkan bahwa rezim pemerintahan Jokowi adalah rezim yang mengandalkan impor sebagai tumpuan dari ketahanan pangan.
Sebab, lanjut dia, Undang-Undang Cipta Kerja menjadikan impor pangan sebagai prioritas ketersediaan pangan nasional.
Padahal, katanya, dalam Undang-Undang Pangan, impor adalah pilihan terakhir apabila produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional sudah tidak cukup.
“Sehingga tidak mengherankan. Jika impor selalu menjadi kebijakan dibuat Pemerintahan Jokowi untuk menjaga ketersediaan pangan,” kata dia.
Kemudian yang kedua, Indonesia sebagai negara agraris tidak mampu melakukan pemetaan, konsolidasi lahan, dan peta produksi secara nasional.
Idham menegaskan, Pemerintahan Jokowi selalu gagap jika berkaitan dengan jumlah produksi pangan nasional. Bahkan, di antara pemangku kepentingan selalu memiliki perhitungan yang berbeda.
“Dan tidak ada kepastian data yang jelas. Ini berdampak pada pengambilan keputusan yang salah,” ucapnya.
Kemudian, Pemerintahan Jokowi gagal dalam membangun kedaulatan pangan akibat dari gagalnya program Food Estate.
Idham mengungkapkan, sampai saat ini program tersebut terbengkalai dan tidak jelas.
“Tidak jelas. Bagaimana program food estate ini memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dan memenuhi program-program skala nasional. Food estate hanya menghabiskan anggaran negara. Namun tidak berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan pangan. Apalagi pada kedaulatan pangan,” tegas Idham.
Menurutnya, ada beberapa indikator yang menujukkan bahwa food estate gagal sebagai program lumbungan pangan nasional. Yakni, produktivitas lahan untuk food estate yang sangat kurang. Lalu keterlibatan petani semakin hari semakin berkurang. Kemudian, produksi yang tersentral sangat rentan dari sisi suply dan distribusi di tempat lain.
“Karenanya, untuk program food estate ini perlu evaluasi. Mengingat jumlah anggaran yang besar tidak berbanding lurus dengan produktivitas,” tegas dia..
Pupuk Bersubsidi yang Bermasalah
Idham mengatakan, pupuk bersubsidi yang bermasalah menyebabkan petani kesulitan menanam.
Setiap tahun, masalah pakan ternak dan kedelai selalu muncul dengan persoalan yang sama. Yakni naik harga karena beban kenaikan harga impor bahan baku.
Namun, sampai saat ini, kata Idham Pemerintah masih lebih mengutamakan dan tunduk terhadap mafia atau kartel pangan.
“Jadi, keputusan-keputusan yang diambil pun. Selalu merugikan petani serta pertanian nasional. Harus diakui. Mafia pangan sudah masuk. Bahkan menjadi bagian pengambilan keputusan. Menjadi bagian rente. Dalam sistem tata kelola pangan nasional,” kata Idham.
Menurut Idham, Pemerintah yang tunduk tergadap kartel dapat terlihat dari cara pandang pemimpin dalam mengambil keputusan terkait pangan: bahwa impor adalah jalan solusi.
Lalu, Idham menilai BUMN Pangan gagal membangun transformasi ekosistem pangan sebagaimana yang dicita-citakan saat dilakukan penggabungan.
Ini, kata Idham, terlihat dari ketidakmampuan BUMN dalam mengantisipasi gejolak harga pangan, kelangkaan minyak goreng, kelangkaan pupuk, dan sebagainya.
Menurut dia, BUMN tidak memiliki road map nasional. Pada akhirnya ketahanan pangan dan kedaulatan pangan nasional tak jelas arah kebijakannya.