Nasional, SAKATA.ID: Nasib guru dan tenaga kependidikan honorer di seluruh Indonesia akan diperjuangkan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, di Gedung Bina Graha, Jakarta.
“Kami juga pernah memperjuangkan tenaga honorer perawat. Tentunya kami juga akan segera mencarikan formulanya sehingga ada perubahan,” ujarnya.
Moeldoko menyatakan siap memfasilitasi perjuangan guru dan tenaga kependidikan honorer non-kategori (GTKNHK 35+) untuk menjadi menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (P3K).
GTKNHK atau guru dan tenaga kependidikan honorer berusia 35 tahun ke atas berkeinginan menjadi pegawai pemerintah, tentunya sesuai dengan perjanjian kontrak (P3K).
Hal tersebut diungkapkan saat beraudiensi bersama KSP yang diwakili oleh delapan perwakilan guru.
Pihaknya mengaku seluruh guru dan tenaga kependidikan honorer sangat berkontribusi besar bagi pengembangan sumber daya manusia.
Tentunya hal tersebut diakui Presiden Joko Widodo. Menurutnya, Presiden sangat memperhatikan masalah ini, dan masih banyak guru dan tenaga kependidikan honorer yang mendapat upah jauh dari standar.
Oleh sebab itu, KSP akan segera merumuskan masalah dan mencari solusi bersama untuk membantu nasib guru dan tenaga kependidikan honorer.
Mempunyai Semangat Yang Sama
Dalam audiensi ini mempunyai semangat yang sama. Guru dan tenaga kependidikan honorer yang tergabung dalam GTKNHK bersama KSP.
“Karena kami punya semangat yang sama untuk membantu nasib guru dan tenaga kependidikan honorer. Setelah pertemuan ini, GTKNHK bisa berkomunikasi secara intens dengan KSP untuk memperjuangkan apa yang diinginkan,” tutur Moeldoko.
Sebanyak delapan perwakilan GTKNHK tersebut berasal dari berbagai provinsi diantaranya, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara. Seluruh guru dan tenaga kependidikan tersebut telah mengabdi selama 15 tahun.
Sementara itu Ketua GTKNHK 35+ Yudha Aremba mengaku selama 16 tahun telah mengabdi menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar, hingga saat ini mendapatkan upah sebesar Rp 700 ribu tiap bulannya.
“Upah sebesar itu sangatlah berat bagi kami dalam menjalankan kehidupan. Sehingga di masa muda kami dihabiskan mencari kerja sampingan,” ucap Yudha.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, ia bersama seluruh anggota GTKHNK 35+ melaksanakan rapat koordinasi nasional pada bulan Februari tahun 2020 lalu.
Hasil dari rapat koordinasi nasional tersebut, telah disepakati beberapa tuntutan pada pemerintah, salah satunya permohonan pengangkatan menjadi ASN melalui keputusan presiden serta kenaikan upah untuk guru dan honorer di bawah usia 35 tahun.
“Terkait dengan keadaan kami di lapangan saat ini, akan didukung oleh kajian akademik beberapa profesor dan doktor,” ujarnya.
Guru honorer lainnya Tinon Wulandari merasa gembira sekaligus bahagia setelah mendengar kabar adanya rekrutmen untuk satu juta orang.
Seleksi P3K Tidak Berpihak
Rekrutmen tersebut melalui seleksi P3K. Pada kenyataannya, seleksi P3K itu tidak berpihak pada guru dan tenaga kependidikan honorer.
“Kami sebagai guru honorer yang berusia di atas 35 tahun ini merasa berat, karena seleksi P3K itu untuk umum tidak memperhitungkan masa bakti,” imbuhnya.
Menurut Titon, dalam seleksi P3K tersebut harus bersaing dengan yang lebih muda. Dikatakannya, selama ini kompetensi guru serta tenaga kependidikan honorer masih diragukan,” ucapnya.
“Dari formasi yang direncanakan pemerintah melalui seleksi P3K untuk satu juta orang tersebut, ternyata dapat terealisasi sekitar 467 ribu orang saja,” terangnya.
Hal tersebut masih banyak pemerintah daerah yang tidak mengusulkan formasi itu. Dikarenakan masalah penggajian dilimpahkan ke APBD daerah itu sendiri.
“Kami yakin pemerintah mempunyai pertimbangan khusus. Harapan satu-satunya adalah menunggu keputusan presiden, namun keputusan itu dikembalikan kepada pemerintah,” pungkasnya.