Para Ahli Komentari Rilis Ombudsman terkait TWK KPK

Hukum, SAKATA.ID: Komisi Informasi Jawa Barat (KI Jabar) soroti putusan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam alih status anggota Aparatur Sipil Negara Komisi Pemberantasan Korupsi atau ASN KPK.

Ketua KI Jabar Ijang Faisal mengatakan, siaran pers ORI itu harus disikapi dengan bijak.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut ia ungkapkam dalam acara diskusi publik yang diselenggarakan KI Jabar secara virtual pada Kamis (29/7/2021).

Ijang mengatakan, diskusi tersebut dihelat untuk mengukur sejauh mana siaran pers Ombudsman dan relevansinya terhadap Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Khususnya pada pasal 17 terkait informasi yang dikecualikan. 

Menurutnya, diskusi publik ini diproyeksikan supaya masyarakat bisa lebih berpartisipatif dalam seluruh proses diseminasi. Dan espon pada informasi yang didapatkan. 

Terutama dalam kegiatan KI Jabar terdekat, yakni pengumpulan self assessment quistionnaire dalam kegiatan monitoring dan evaluasi tahun 2021. 

Ombudsman Berwenang Publikasi Hasil Pemeriksaannya

Sementara itu, Komisioner ORI 2016-2021 dan Komisioner Komisi Informasi Pusat atau KIP 2009-2013 Alamsyah Saragih mengungkapkan, siaran pers ORI sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI.

Dalam peraturan tersebut memberi mandat memeriksa prosedur dan hasil dari TWK lembaga anti rasuah tersebut. 

Ia menegaskan, Ombudsman RI berwenang mempublikasikan hasil temuannya sepanjang sesuai kadar dan tidak masuk ranah motif pidana apalagi politik.

Rekomendasi ORI terkait TWK itu, kata dia, juga bukan seperti hakim yang membatalkan sebuah putusan. Namun memberikan saran serta rekomendasi untuk mencegah maladministrasi sebuah badan publik.

Alamsyah melanjutkan bahwa rilis ORI pada 21 Juli lalu itu juga berwenang diekspos. Lantaran menyangkut kepentingan publik. Baik dalam bidang administrasi maupun dari hak informasi publik. 

Rilis itu, katanya, bukan kemudian seolah-olah memperjuangkan 75 anggota KPK yang tidak lolos TWK. Atau jangan selalu dikaitkan dengan ranah politik. 

Ia mengungkapkan, dari Ombudsman RI juga sudah menginformasikan ke padanya bahwa isi rekomendasi dalam siaran pers tersebut sudah disambut tim presiden. 

Bahkan, katanya, sudah ada pembicaraan antara Komisioner ORI dengan tim dalam menindaklanjuti temuan ORI.

Kemudian, Romli Atmasasmita mengungkapkan bahwa siaran pers berbasis pelaporan dari wadah pegawai KPK tidak sah. Lantaran dilakukan bukan oleh masyarakat umum. Tetapi oleh pegawai KPK kepada pimpinan. 

Selain itu, lanjutnya, fungsi utama Ketua KPK itu adalah penegakan hukum. Tidak memiliki fungsi pelayanan publik. Jadi, tegas dia, tidak relevan dari awal. 

Menurut dia, 75 pegawai KPK yang tak lolos KPK bukan hanya lakukan implementasi hukum. Tetapi juga harus faham kultur eksistensi KPK.

Karenanya, kata Romli, siaran pers Ombudsman tersebut tidak sesuai dengan kewenangannya. Dan bahkan berpotensi melanggar aturan. 

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang ORI. Bahwa peran dan fungsi ORI hanya terkait pemeriksaan atas perbuatan melanggar hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain, dan menimbulkan kerugian material. 

“Tidak ada asap kalau tak ada api,” kata Romli, “akarnya bukan di siaran pers, hemat saya. Tetapi bahwa KPK sebelum TWK ini adalah lembaga dengan kewenangan luar biasa. Yang sulit dikendalikan. Sekalipun dari internal,” katanya.

“Kewenangan mereka tidak disertai akuntabilitas yang baik. Belum dengan faksi internal. Betapa banyak tersangka yang ditetapkan tanpa bukti permulaan, banyak keputusan bukan kolegial. Tetapi kewenangan suara mayoritas,” kata dia.

TWK KPK Dinilai Sebagai Akrobat Politik

Busyro Muqoddas menilai, TWK KPK sebagai akrobat politik. Menurut dia, yang berprestasi disingkirkan.

Sementara nanti, lanjutnya, yang sudah menjadi ASN kemudian mencetak prestasi juga tetap sama, status ASN-nya itu dapat dipindahkan.

“Ini sudah sejak zaman SBY. KPK coba dilemahkan. Namun selalu berhasil diredam,” kata dia.

Namun ia masih optimistis, Presiden Joko Widodo bisa membereskan permasalahan dalam TWK KPK.

“Beliau ada concern moral. Terutama menanggapi temuan Ombudsman RI. Soal proses ASN TWK yang maladministrasi,” kata dia. 

Sementara itu, Asep Warlan Yusuf mengungkapkan bahwa berubahnya kebijakan ASN jangan sampai menganggu. Apalagi memberhentikan tugas organ di dalam tubuh KPK. 

Sebab, ungkapnya, secara Undang-Undang ASN bahwa peralihan ASN itu prinsipnya berdasarkan pengangkatan. Bukan seleksi ulang seperti kemarin. 

Dalam Peraturan Pemerintah ASN di Pasal 62 juga disebutkan, katanya,  objektivitas itu di kompetensi kualifikasi dan jabatan, bukan kepentingan pimpinan. 

Maka, ia menilai bahwa hal itu ada banyak benturan dengan regulasi. Terutama ada pemberian kewenangan Pejabat Pembuat Komitmen. Yakni Pimpinan KPK yang tidak sesuai.

Ia menilai, siaran pers Ombudsman RI adalah bagian dari hak publik dalam memperoleh informasi, memikirkan negara, dan mengembangkan pendapat. 

Jadi, lanjutnya, hal tersebut jangan dianggap sebagai cara mengacak-acak sistem ASN. Namun justru berusaha memberikan pengaruh kepada pejabat publik agar merilis kebijakan publik yang baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *