RAGAM, SAKATA.ID: Implementasi merdeka belajar, tidak melulu identik pada lembaga formal. Pendidikan bukanlah soal lembaga. Kebanyakan orang, saat mendengar kata “pendidikan” akan terarah kepada hal yang bersifat kelembagaan seperti Taman Kanak-kanak (TK), sekolah, madrasah dan perguruan tinggi.
Sehingga saat ditanya ; “Riwayat pendidikanmu apa?” Jawabannya adalah “TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi”. Padahal pendidikan yang sebenarnya bukan berawal saat anak memasuki TK kemudian diakhiri dengan perguruan tinggi.
Menurut filosofinya sendiri pendidikan berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Bahkan, proses pendidikan bisa saja terjadi saat bayi dalam kandungan, seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengenalkan musik kepada bayi sebelum kelahiran.
Samuel Langhorne Clemens yang lebih dikenal dengan nama Mark Twain (seorang novelis, penulis dan pengajar kebangsaan Amerika Serikat) sampai mengatakan ; “Saya tidak akan pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya.”
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sekolah dengan pendidikan merupakan dua hal yang berbeda. Setiap sekolah bisa berarti pendidikan dan setiap pendidikan bukan berarti sekolah.
Pendidikan dalam konteks implementasi merdeka belajar, bisa dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Pendidikan adalah apa yang dilihat, didengar dan dirasakan.
Pendidikan tidak bersifat subjektif atau objektif. Tapi pendidikan itu selalu bersifat subjektif dan objektif. Karena saat seseorang menggurui, bisa jadi saat itu juga ia sedang digurui. Seperti yang tersurat dalam lagu berjudul “sama-sama” yang dipopulerkan oleh Kepal SPI :
Belajar sama-sama,
Bekerja sama-sama
Semua orang itu guru,
Alam raya sekolahku
Sejahteralah bangsaku!
Guru bukanlah orang dengan usia renta, tapi guru adalah orang yang memberi ilmu. Tak peduli usianya berapa. Entah itu balita, anak, remaja, dewasa, orangtua, bahkan lansia pun bisa menjadi seorang guru.
Pepatah selalu mengatakan, “kebaikan itu harus diterima meskipun datangnya dari seorang pelacur sedangkan kebajikan harus ditolak meski datangnya dari seorang pendakwah.” Pepatah itu nampak selaras dengan kalimat “semua orang itu guru” pada lirik lagu diatas.
Kahlil Gibran berkata dalam bukunya yang berjudul “The Prophet” bahwa seorang anak itu tidak seutuhnya milik sang ibu, tetapi mereka adalah anak semesta yang lahir melalui Ibu. Mungkin itulah yang dimaksud dengan “alam raya sekolahku”.
Meskipun seorang anak lahir dari rahim Ibu, tapi bukan berarti Ibu yang harus menentukan masa depan anaknya. Sang Ibu hanya berhak menuntun bukan menentukan. Biarlah ia belajar kepada semesta untuk menemukan dirinya sendiri.
Karena alam raya adalah sekolah, berarti peran lingkungan dan masyarakat pun akan sangat berpengaruh terhadap anak. Jika masyarakat sekitarnya berprilaku buruk, tidak menutup kemungkinan bagi anak untuk berprilaku buruk.
Oleh karena itu, untuk melaksanakan proses pendidikan (dengan implementasi merdeka belajar), masyarakat dan lingkungan juga harus dibangun terlebih dahulu supaya tercipta bi’ah yang baik.
Selain itu, proses pendidikan juga membutuhkan peran seseorang yang bisa dijadikan figur atau uswah bagi siswa. Dari sikap, perkataan dan prilaku. Peran ini bisa diisi oleh orangtua, guru maupun seniornya. Hal ini dibutuhkan supaya siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan verbal. Tapi ia juga bisa mendapati pengetahuan laku.
Dengan cara seperti ini, maka ekosistem pendidikan akan terbentuk secara utuh. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh siswa benar-benar telah dikondisikan. Hal ini juga serupa dengan apa yang dijadikan landasan pendidikan oleh Pondok Modern Darussalam Gontor yang sudah berdiri lebih dari 90 tahun.
Bahwa “Sesungguhnya pelaksanaan pendidikan akal dan akhlak tidak akan cukup dengan perkataan, tetapi juga harus dibantu dengan hadirnya uswah dan bi’ah yang baik. Dan semua yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh siswa, harus menjadi bagian dari pendidikan.”
Hakikat Implementasi Merdeka Belajar, Berdamai Dengan Diri
Tidak sedikit siswa yang ‘mual’ dengan banyaknya mata pelajaran di sekolah. Setiap siswa diwajibkan menguasai mata pelajaran yang bahkan bukan pada basic-nya. Padahal, setiap siswa memiliki basic berbeda yang tidak bisa diseragamkan. Mereka memiliki kelebihan masing-masing.
Banyak yang berkata bahwa matematika itu menyeramkan. Benar, memang menyeramkan. Tapi tidak bagi siswa yang memiliki basic pada pelajaran matematika. Ia akan merasa senang dengan setiap angka dan rumus matematika.
Sekalipun gagal dalam memecahkan persoalan, ia akan merasa tertantang dan terus mencobanya sampai berhasil. Begitu juga dengan siswa yang memiliki basic pada kesenian, sains dan sejarah tidak akan terbebani ketika harus menggeluti mata pelajaran yang memang mereka minati.
Ada sebuah kisah ketika seorang guru bahasa inggris memarahi siswanya habis-habisan karena tidak bisa mengerjakan tugas bahasa inggris. Di lain waktu, anak itu bertanya kepada guru tersebut dengan membawa soal matematika. Kemudian guru itu menjawab ; “Kalo mau nanya sama bapak, jangan matematika. Bahasa inggris saja.”
Dari kisah tersebut, bisa disimpulkan bahwa guru saja tidak bisa mengerjakan soal yang bukan pada bidangnya. Setiap guru ditempatkan berdasarkan keahliannya masing-masing karena mereka tidak mampu menguasai semua mata pelajaran.
Lantas mengapa siswa diseragamkan dengan harus menguasai seluruh mata pelajaran?. Tentu mereka juga sama dengan guru. Memiliki kehalian dan basic yang berbeda.
Mulai sejak SD, siswa sudah disodorkan dengan banyak mata pelajaran. Bahkan, makin tinggi tingkatan sekolah, juga makin banyak mata pelajaran yang disodorkan. Sekolah tingkat SLTA memang sudah melakukan program penjurusan. Namun, tetap saja siswa disodorkan dengan mata pelajaran yang bukan jurusannya.
Jurusan IPA, tapi masih disodorkan dengan bahasa inggris. Seharusnya, siswa hanya disodorkan dengan mata pelajaran yang sejurus dengan jurusannya saja. Dengan begitu, bakat pada siswa akan terus berkembang.
Ada perkataan pendek dari Albert Einstein yang kini banyak dikutip di sosial media. Perkataan itu berbunyi ; “Ikan kok disuruh terbang.” Perkataan itu merupakan sebuah analogi bahwa setiap orang memiliki potensi yang berbeda. Seekor ikan memang tak akan pernah bisa terbang, tapi urusan berenang ia sudah ahli semenjak dilahirkan.
Begitu pun dengan manusia. Jangan suruh penyanyi untuk melukis, ia takan bisa. Tapi urusan nada, ia ahlinya. Pada intinya, setiap orang memiliki potensi berbeda yang tidak bisa diseragamkan.
Namun sebenarnya yang menjadi masalah adalah potensi itu sendiri. Terkadang orang bingung menemukan potensi yang dimilikinya. Jika memakai analogi yang disampaikan Einstein, seseorang itu ikan, burung, benalu, atau apa?. Karena saat seseorang tidak mengetahui dirinya sendirii, ia tak akan pernah mengetahui pekerjaan apa yang seharusnya ia kerjakan.
Maka dari itu, menemukan potensi diri adalah hal terpenting sebelum memulai langkah selanjutnya.
Berdamai dengan orangtua
Kehendak orangtua dalam menentukan masa depan anak terkadang bertentangan dengan potensi yang dimiliki anak. Hal ini terjadi karena sikap orangtua yang terlalu mengatur sehingga anak tidak memiliki kebebasan dalam memilih.
Seharusnya orangtua tidak bersikap seperti itu. Orangtua seharusnya hanya memberi pengarahan bukan menentukan arahan. Karena masa depan anak bukanlah masa depan orangtua.
Banyak anak yang memilih sekolah atau jurusan sekolah bukan atas kehendaknya sendiri. Mereka hanya menuruti kehendak orangtua. Akhirnya mereka menjalani kesehariannya di sekolah dengan penuh keterpaksaan.
Saya punya teman yang memiliki potensi di bidang furniture. Setelah lulus SMA, sebenarnya ia tak ingin melanjutkan sekolahnya dengan masuk ke perguruan tinggi. Namun orangtuanya memaksa untuk masuk perguruan tinggi dengan mengambil jurusan Teknik Informatika.
Basic dengan lingkungannya kini menjadi hitam putih. Karena ia harus memasuki lingkungan teknologi yang kebanyakan teman-temannya autis dalam dunia digital. Belum lagi pelajaran di kampus yang tak pernah bisa ia pahami.
Jangankan coding, windows saja belum ia kenali sebelumnya. Akhirnya, ia memutuskan keluar di semester keduanya. Setelah keluar, ia menghabiskan hari-harinya dengan membuat miniatur bis dari bahan triplek. Begitu selesai, ia post di sosial media.
Alhasil, karyanya terjual dengan harga yang luar biasa.
Dengan pembuktian yang nyata, ia berhasil membuat orangtuanya sadar dan merasa bersalah karena telah memaksanya memasuki dunia informatika yang jelas bukan dunianya.
BACA JUGA: Dari Sekolah Motekar : Terimakasih Petani, Jasamu Sangat Besar
Di satu sisi orangtua memang salah menentukan pilihan bagi anak. Namun di sisi lain, anak juga harus mampu berdiskusi dan menjelaskan semua kehendaknya kepada orangtua supaya tidak terjadi gagal faham antara keduanya.
Seorang anak tidak bisa menekuni keahliannya secara diam-diam tanpa restu dari orangtua. Bagaimanapun, orangtua bukanlah enemy yang harus dilawan. Orangtua adalah sebuah kunci bagi kesuksesan anak. Mungkin seperti itulah konsep birru-l-waalidain yang sesungguhnya.
Bukan dengan cara memendam kehendak diri dan menuruti semua kehendak orangtua, tetapi dengan cara menyelaraskan dan berdamai dengan mereka. Dengan begitu, tak ada lagi kehendak yang bertentangan antara keduanya. Setelah semuanya selaras, anak bisa belajar tanpa keterpaksaan dan orangtua bisa memeberikan dukungan yang tulus untuk anaknya.
(Belajar) Merdeka dalam Implementasi Merdeka Belajar
Kata merdeka sudah dinobatkan kepada Indonesia sejak 75 tahun yang lalu. Maka, sudah seharusnya bangsa Indonesia mendapat kehidupan yang merdeka. Namun realitanya, merdeka masih sangat jauh dari bangsa Indonesia. Kondisi bangsa Indonesia sebelum dan setelah merdeka masih tetap sama.
Meski begitu, masyarakat Indonesia tetap antusias dalam memperingati hari kemerdekaannya. Berbagai kegiatan dilakukan, seperti mengecat jalan, mengadakan perlombaan, mengadakan parade, upacara bendera dan kegiatan lainnya. Semua itu mereka lakukan sebagai bentuk terimakasih kepada para pahlawan yang telah berjuang habis-habisan untuk memerdekakan Indonesia.
Tidak hanya dengan cara seperti itu, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk bertrimakasih kepada para pahlawan, khususnya sebagai pelajar. Saya teringat kepada guru saya yang berkata; “Tugas seorang pelajar dalam mengisi kemerdekaan tidaklah berat, hanya dengan belajar sungguh-sungguh pun sudah cukup.”
Jika melihat kondisi saat ini, semakin jarang pelajar yang sungguh-sungguh dalam belajar. Kebanyakan mereka berasumsi bahwa belajar itu membosankan, hanya duduk dan mendengarkan ceramah guru setiap hari, mengerjakan tumpukan tugas, dipaksa menguasai seluruh mata pelajaran dan berbagai tuntutan lainnya yang membebani mereka.
Tak sedikit diantara mereka yang stress akibat beban tersebut yang kemudian biasanya dilampiaskan kepada rokok, alkohol, tawuran dan kerusuhan lainnya. Bahkan ada juga yang sampai melakukan aksi bunuh diri gara-gara depresi sekolah.
Kondisi seperti ini sangat jauh dari yang namanya merdeka (belajar). Wajar saja jika mereka tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Metode pembelajarannya saja seperti itu.
Lantas bagaimana caranya seorang pelajar mengisi kemerdekaan? Tentu dengan mencoba terlepas dari segala hal yang menjadikannya terbelenggu dalam pembelajaran supaya mereka bisa merdeka dalam belajar.*
*Penulis : Muhammad Rizky Ramdani, Civitas Sekolah Motekar Lingkungan Cibunar Desa Sadananya Kab.Ciamis-Jawa Barat.