SAKATA.ID : Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama adalah Mr. Gatot Taroenamihardja. Dia mulai menjabat sejak 12 Agustus 1945 hingga 22 Oktober 1945.
Penetapan Jaksa Agung itu dilakukan oleh Presiden Sukarno. Sekaligus menandai bahwa Jaksa Agung eksis di Indonesia sebagai lembaga dan jabatan penting.
Gatot menjabat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama terbilang singkat. Hanya sampai 22 Oktober 1945.
Dia mundur dari pejabat pemerintahan yang berfungi di wilayah penuntutan itu atas permintaannya sendiri.
Sehingga ia diberhentikan dengan hormat oleh Presiden RI kala itu, Sukarno.
Maklumat dan Instruksi
Kendati demikian, meski jabatannya singkat, ketika jadi Jaksa Agung atau disingkat menjadi Jakgung, yang pertama dia mengeluarkan satu maklumat dan satu instruksi, pada 1 Oktober 1945.
Maklumat itu diumumkan bersama-sama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman. Isinya bahwa, kedudukan struktural organik Kejaksaan dalam Lingkungan Departemen Kehakiman dan Jaksa Agung sebagai pemegang pimpinan Kepolisian Kehakiman.
Kemudian isi instruksinya adalah dengan gamblang dan tegas ia memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia supaya bertindak lebih keras menjaga keamanan.
Terutama terhadap Belanda yang ingin membinasakan Republik Indonesia.
Dua Kali Jadi Jaksa Agung
Selain sebagai Jaksa di Kejaksaan Agung yang pertama, dia juga merupakan orang yang menduduki Jakgung sebanyak dua kali.
Pada 1 April 1959, Gatot kembali terpilih menjadi Jakgung. Waktu itu, Gatot menggantikan Mr. Soeprapto.
Soeprapto diganti lantaran dianggap telah ‘memberi tekanan’ kepada Presiden Sukarno. Gatot kembali menjadi Jakgung.
Masa jabatan Gatot yang kedua juga sangt singkat, hanya 4 bulan 21 hari. Bahkan berakhir dengan tragis.
Bongkar Kasus Korupsi Tentara
Ketika menjadi Jakgung kedua kalinya ini, Gatot berusaha membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara.
Ketika itu, aktivitas penyelundupan diduga ada di bawah komando Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon.
Gatot juga membongkar ihwal korupsi, barter di Tanjung Priok. Yang diduga menyeret nama Kolonel Ibnu Sutowo.
Semua keuntungan dari aktivitas dan barter itu dipergunakan untuk kepentingan Tentara.
Akhirnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Mayor Jendelral TNI Abdul Harris Nasution menghentikan penyelidikan.
Dia akan menyelesaikannya dengan cara disiplin tentara dan administratif.
Sehingga Pemerintah setuju akan keputusan itu.
Hanya saja, pada 23 Agustus 1959 Gatot meminta izin Presiden Sukarno untuk melaksanakan pemeriksaan.
Lantaran Gatot menduga masih ada aktivitas penyelundupan.
Pada saat Jakgung Gatot akan memeriksa beberapa perwira, seperti Kolonel Ibnu Sutowo dan Letkol Sukendro, digagalkan Nasution.
Gatot Ditangkap
Kemudian, pada 10 September 1959, Gatot ditangkap oleh tentara Angkatan Darat.
Penangkapan itu atas perintah Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusumah.
Ketika itu Presiden Sukarno sedang ke luar negeri.
Penangkapan Jakgung Gatot menimbulkan kegemparan. AH Nasution dan Perdana Menteri Djuanda secara khusus dipanggil Sukarno.
Gatot Dicopot
Kemudian pada 17 September 1959, Gatot dipanggil ke Istana. Dia datang dengan kawalan ketat tentara.
Hasil pembicaraan Soekarno dengan Djuanda dan Nasution pada akhirnya memutuskan untuk mencopot Gatot sebagai Jaksa Agung.
Dan mengembalikannya ke Departemen Kehakiman.
Sementara para tentara, perwira, yang terlibat dalam kasus barter Tanjuhmng Periuk diberi hukuman. Mereka dimutasi meski masih aktif di militer.
Tentara Berusaha Membunuh Gatot
Tidak sampai di situ, banyak tentara tidak terima dengan tindakan Gatot. Tentara berusaha untuk membunuhnya.
Peristiwa yang menimpa Gatot itu diceritakan Pengacara kondang, Adnan Buyung Nasution dalam otobiografinya, Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto.
Diceritakan Buyung, Gatot dicoba dibunuh oleh tentara. Dengan cara ditabrak saat waktu Subuh. Bahkan sampai kakinya Gatot buntung.
Gatot selesai bertugas menjadi Jakgung yang kedua pada 22 Septem er 1959. Ia diganti Mr. Goenawan.
Kemudian, perkara impor itu terhenti. Lantaran Jaksa Agung Goenawan menutup kasusnya. (S-03)