Politika, SAKATA.ID: Wacana Pemilu 2024 kembali ke Proporsional Tertutup mencuat. Terlebih setelah ada judicial review atau gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Akademisi Universitas Galuh (Unigal) Ciamis Aan Anwar Sihabudin menilai, jika sistem itu dikabulkan MK menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Diketahui, sistem Pemilu proporsional tertutup dilaksanakan di masa Orde Baru. Dalam sistem ini, pemilih hanya mencoblos partai dengan memperhatikan calon-calon yang ada dalam surat suara.
Kemudian, pada tanggal 23 Desember 2008, MK memutuskan untuk menggunakan sistem proporsional terbuka. MK menyatakan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
“Sekarang kan lagi proses di MK. MK itu orang mana sih? Apakah akan dikembalikan lagi ke zaman jahiliyah? Jika sistem tertutup sampai disahkan oleh MK, sebuah kemunduran demokrasi di Indonesia,” ujar Aan pada Selasa (10/1/2023).
Ia menegaskan, pihaknya lebih memilih sistem proporsional terbuka. Lantaran masyarakat bisa memilih secara langsung calon legislatif keinginannya.
“Dengan sistem terbuka. Setidaknya rakyat bisa mengetahui, siapa yang akan diusung untuk menjadi wakilnya,” tegas Aan.
Dia pun meyakini, rakyat sebagai pemilih sudah pintar dalam menentukan pilihan. Rakyat bakal mempertimbangkan visi, misi, dan rekam jejak calon legislatif yang bersangkutan.
Bahkan, dapat mengenali dengan cermat rekam jejak calon yang akan dipilih sehingga meminimalisir potensi salah pilih caleg dalam Pemilu mendatang.
“Rakyat kita kan sudah pintar. Dan bisa menentukkan dan memilih siapa calon yang nantinya akan diusung buat menjadi wakil rakyat ke depan,” ungkap Aan.
Wakil Rektor III Unigal Ciamis ini meminta MK berhati-hati dan adil dalam memutuskan perkara penggunaan sistem pemilu 2024.
Jangan sampai ada dugaan bahwa MK cenderung tidak berlaku adil lantaran lebih memilih sistem proporsional tertutup ketimbang sistem terbuka.
“Jangan sampai, MK mengabulkan sistem proporsional tertutup, apa yang menjadi ego sentris, keinginan Komisi Pemilihan Umum,” tegas dia.