Internasional, SAKATA.ID: Konflik di Sudan, Afrika meletus sejak 15 April 2023 masih bergejolak.
Pertempuran antara Angkatan Bersenjata Sudan, Afrika dan kelompok paramiliter, Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) itu telah menewaskan lebih dari 500 orang.
Selain itu, akibat perang di negara berpenduduk sekitar 42 juta itu, sudah lebih dari 800 ribu orang melarikan diri sejak pertempuran meletus.
Eksodus besar-besaran dari Sudan untuk mencari keselamatan ke negara-negara tetangga.
Kekerasan meningkat di ibu kota, Khartoum, dan di seluruh negeri, mahasiswa Palestina yang berada di sana, Nour Kullab (25), menyebut situasi di Sudan seperti kiamat.
Disebutkan, rakyat Sudan berjuang untuk memperoleh air, bahan bakar, dan kebutuhan penting lainnya.
Kondisi tersebut mendorong semakin banyak warga yang putus asa melarikan diri demi keselamatan hidup mereka.
Kullab menyebut, ketika perang mulai jembatan-jembatan ditutup di dekat tempat tinggalnya di ibu kota Sudan, Khartoum.
Namun, mahasiswi kedokteran itu mengira hal tersebut hanyalah aksi protes biasa.
Sebelum akhirnya dia menyadari apa yang sedang terjadi. Di wilayahnya aliran listrik dan air terputus, terdengar suara tembakan serta peluncuran roket.
Informasi itu diungkapkan Kullab kepada Reuters ketika sudah berada di rumah keluarganya di Khan Younis, Jalur Gaza.
Ia menyampaikan, ketika keluar dari rumah, tak ada bajaj dan tidak ada satu pun mobil berhenti untuk membantunya.
Dia pun melihat kawasan industri yang terbakar serta toko-toko tutup ia merasa ngeri seakan-akan hari itu adalah kiamat.
Konflik di Sudan, Kedua Kelompok Sepakat Gencatan Senjata
Kekacauan dan pelanggaran hukum mencengkeram di Sudan, kedua kelompok kini bersepakat untuk melakukan gencatan senjata selama tujuh hari sejak 4 Mei 2023.
Tentara Sudan yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan. Sementara yang memimpin RSF adalah mantan asistennya, Mohamed Hamdan Daglo.
Kesepakatan gencatan senjata itu mereka sepakati saat keduanya berbicara lewat sambungan telepon dengan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir.
Selain itu, kedua belah pihak juga sepakat untuk menunjuk perwakilan mereka agar membicarakan perdamaian. Rencana pertemuan bakal dilakukan di tempat mana pun yang mereka pilih.