Politika, SAKATA.ID: Sistem pemilu di Indonesia adalah mekanisme yang digunakan untuk memilih wakil rakyat dan pemerintahan secara demokratis.
Sejak reformasi politik pada tahun 1998, Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Dalam Pemilu Legislatif, pemilih memberikan suara untuk partai politik, bukan untuk calon individu. Partai politik yang memperoleh suara melebihi ambang batas pemilihan akan mendapatkan kursi dalam parlemen.
Pembagian kursi dilakukan berdasarkan metode alokasi, seperti metode Kuota Hare dan metode Sainte-Lague murni.
Sistem proporsional dalam pemilihan umum di Indonesia merujuk pada metode penentuan alokasi kursi dalam lembaga legislatif berdasarkan proporsi suara yang diperoleh oleh setiap partai politik atau calon independen.
Dalam sistem ini, jumlah kursi yang diberikan kepada setiap partai politik atau calon independen tergantung pada persentase suara yang mereka peroleh dalam pemilihan.
Sistem pemilu di Indonesia adalah sistem proporsional dengan beberapa modifikasi. Ini diterapkan dalam pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik tingkat pusat maupun daerah.
Sistem proporsional di Indonesia dirancang untuk mencerminkan keberagaman politik dan memastikan representasi yang lebih adil dalam lembaga legislatif.
Berikut Penjelasan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Terbuka di Indonesia
Sistem proporsional tertutup dan terbuka adalah dua jenis pendekatan yang digunakan dalam sistem proporsional untuk pemilihan umum.
Sistem Proporsional Tertutup
Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih memberikan suaranya kepada partai politik dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih atau memengaruhi urutan calon yang dipilih oleh partai tersebut.
Partai politik memiliki daftar calon sendiri, yang biasanya sudah ditentukan sebelum pemilihan, dan urutan mereka dalam daftar tersebut menentukan siapa yang akan mendapatkan kursi jika partai tersebut memenuhi ambang batas yang ditetapkan.
Dalam sistem ini, pemilih hanya memberikan suara kepada partai politik, dan alokasi kursi dilakukan berdasarkan perhitungan proporsional berdasarkan suara yang diperoleh oleh partai tersebut.
Melansir situs Garuda Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Teknologi (Kemdikbud), dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia, sistem proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesoa.
Kala itu, sistem pemilu proporsional tertutup diterapkan di Indonesia pada pemilu tahun 1955, pemilu orde baru (tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), dan pemilu tahun 1999.
Sistem Proporsional Terbuka
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih memiliki fleksibilitas untuk memilih calon tertentu dari partai politik yang mereka dukung.
Pemilih tidak hanya memberikan suara untuk partai politik secara keseluruhan, tetapi juga dapat memilih calon dalam partai tersebut.
Partai politik mengatur daftar calon, tetapi pemilih memiliki kemampuan untuk memengaruhi urutan calon yang dipilih melalui suara individual mereka.
Dalam sistem ini, alokasi kursi masih berdasarkan perhitungan proporsional, tetapi suara yang diperoleh oleh calon individu juga mempengaruhi alokasi kursi partai politik tersebut.
Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka ini pada pemilihan umum tahun 2004.
Pemberlakuan sistem ini berdasar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Yakni tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD.
Sejak 2004, sistem pemilu proporsional terbuka masih diterapkan. Yakni pada pemilu 2004. Kemudian pemilu 2009. Dan pemilu 2015, lalu pemilu 2019.
Proporsional Terbuka Digugat ke MK
Gugatan aturan mengenai sistem pemilihan umum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada dua kader partai politik dan empat perseorangan warga negara menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut.
Mereka adalah Demas Brian Wicaksono selaku pengurus Partai PDI Perjuangan PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi selaku anggota Partai Nasdem, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2). Pasal 342 ayat (2). Pasal 353 ayat (1) huruf b. Pasal 386 ayat (2) huruf b., Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau UUD tahun 1945.
Para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporisional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh calon legislatif (Caleg) pragmatis.
Caleg pragmatis ini yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik. Mereka juga dinilai sebagai sosok yang tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik. Namun mewakili dirinya sendiri.
Maka dari itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen. Kader yang terpilih tentunya adalah orang yang telah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.