Sosok, SAKATA.ID: Salim Kancil adalah seorang petani yang lantang menolak tambang pasir di desanya. Ia dibunuh secara keji oleh puluhan preman yang dikomandoi Kepala Desa Selok Awar Awar.
Tujuh tahun yang lalu, tepatnya pada 26 September 2015, Salim sedang menikmati pagi dengan memomong cucunya yang berusia lima tahun.
Mereka sedang bermain di teras rumah di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Di hari sebelumnya, Jumat 25 September 2015, Salim telah mengikuti konsolidasi aksi bersama forum penolak tambang pasir.
Dari hasil kesepakatan di forum, rencananya aksi akan digelar keesokan hari dan melibatkan warga luar forum yang bersimpati.
Namun, di waktu yang sama para preman sedang mempersiapkan serangan balasan. Salim Kancil menjadi target utama karena ia adalah anggota forum yang paling vokal.
Sekitar pukul 07.30 WIB., tanggal 26 September, sebanyak 40-an pria tiba-tiba datang dengan saling berboncengan motor. Rombongan bermotor itu membawa senjata pentungan, batu, cangkul, hingga clurit.
Suara-suara provokasi dan nada-nada ancaman dari rombongan itu sudah terdengar dari jarak jauh.
Tahu gelagat tidak beres, Salim segera masuk rumah sambil membawa cucunya dan buru-buru meletakkannya di lantai. Tanpa peduli, rombongan itu mendobrak rumah dan menangkap Salim.
Salim Kancil Disiksa di Balai Desa
Kemudian tangan Salim diikat dan mereka membawa pria kelahiran Lumajang 22 April 1969 itu ke Balai Desa.
Jarak rumah Salim Kancil ke balai besa lumayan jauh untuk jalan kaki, jaraknya sekitar 2 kilometer.
Di perjalanan, para preman itu memukuli Salim. Padahal aksi keji mereka dilakukan di hadapan sorot warga desa, namun mereka tidak ada yang berani memprotes
Di Balai Desa, Salim terus-terusan dihajar. Padahal, disebutkan, pada saat itu di Balai Desa sedang ada aktivitas dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Namun siapa yang peduli, mereka semua takut.
Para preman terus menghajar Salim. Bahkan dia disterum berkali-kali. Pagi itu balai desa menjadi ladang pembantaian Salim Kancil.
Pukulan tangan kosong, hantaman kayu berkali-kali mendarat di tubuh Salim hingga ia lunglai. Bahkan dari kepalanya mengucur darah, yang membasahi bajunya yang mulai koyak.
Namun, gerombolan pelaku itu benar-benar bernafsu. Mereka ingin menghabisi nyawa Salim.
Dari Balai Desa, para preman membawa Salim menuju sebuah jalan yang sepi ke arah makam. Di sana ia mendapat penyiksaan yang lebih kejam lagi, seonggok batu besar dihajarkan ke kepalanya hingga Salim roboh bermandikan darah.
Laporan KontraS menyebutkan bahwa selain dipukuli balok kayu dan batu berkali-kali, Sqlim jug sempat digergaji.
Di sana Salim meregang nyawa. Mayat pria yang berusia 46 itu juga malah dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Sebelum Membunuh Salim Kancil, Gerombolan Menganiaya Tosan
Sebelum para preman itu membunuh keji Salim, terlebih dahulu mereka memburu salah satu rekan Salim bernama Tosan.
Pagi itu, Tosan sedang membagikan selebaran anti-tambang. Lalu datang lah para preman berboncengan di tangannya balok, batu, hingga senjata tajam.
Tentu saja Tosan terkejut, bingung, dan takut ia mengambil sepeda, lalu ia menyelamatkan diri. Meski dia mengayuhnya dengan tergesa-gesa. Tapi, laju mesin motor pars preman itu jauh lebih cepat dibanding kekuatan kaki Tosan.
Tepat di sekitar Lapangan Persil, sepeda itu ditabrak hingga Tosan terpelanting. Di sana, ia pun mendapat perlakuan persis seperti yang dialami Salim di balai desa. Tosan dipukul, dicangkul, ditendang bahkan dilindas
Penganiayaan kepada Tosan berhenti karena tindakan seorang warga bernama Ridwan yang pemberani. Dia adalah sahabat Tosan, berani dan berusaha melerai. Tosan pun bernasib lebih baik.
Dalam Persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (25/2/20216) Tosan mengaku, penganiayaan berhenti sebab ia berpura-pura meninggal.
Akibat penganiayaan itu, Tosan mengalami luka berat dan harus menjalani perawatan dalam waktu yang cukup lama.
Salim Kancil si Petani dengan Lahan Delapan Petak
Salim adalah petani yang tanah garapannya berada di sekitar lokasi penambangan pasir di pesisir pantai selatan Watu Pecak.
Sawah Salim seluas delapan petak atau sekitar 1,5 hektar. Tapi lahan itulah sumber penghidupan dia sekeluarga.
Salim bergantung pada sistem agraria, sebagaimana profesi yang juga dilakoni para tetangga di kanan-kiri rumahnya.
Laporan dari Antara menyebutkan bahwa Salim tidak sempat mengenyam bangku sekolah. Tapi, dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, ia faham bahwa penambangan pasir ilegal mengancam kelestarian lingkungan.
Sejak 2013 dampak pertambangan pasir sudah mulai dirasakan dia beserta para petani lain di Desa Selok Awar-Awar. Irigasi pertanian rusak hingga mereka tak bisa menanam padi.
Pasalnya, akibat pertambangan pasir itu membuat pesisir rusak, air laut masuk ke daratan dan menggenangi areal persawahan.
Sejak itu, Salim Kancil tidak bisa lagi menggarap sawahnya. Ia dan beberapa warga kemudian membentuk sebuah kelompok perlawanan bernama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar. Anggotanya terdiri dari 12 orang dengan teman masa kecilnya, Hamid, sebagai koordinator.
Dari sanalah mereka membuat gerakan penolakan tambang. Terus-menerus meski harus berujung malapetaka.
‘Otak’ Pelaku Penganiayaan Divonis 20 Tahun Penjara
Para pelaku penganiayaan Salim dan Tosan telah ditangkap, sementsra dua otak pelaku pembunuhan dan penganiayaan yaitu Hariyono, sealku Kepaal Desa Selok Awar Awar.
Kemudian, selaku pimpinan anak buahnya adalah Mat Dasir, dia merupakan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Selok Awar Awar. Keduanya hanya divonis 20 tahun penjara.
Sementara pelaku lain diberi hukuman beragam, ada yang delapan sampai 11 tahun penjara.
Meski begitu, penegakan hukum atas kasus ini masih tetap saja menyisakan ketidakadilan. Warga setempat yang peduli akan kelestarian lingkungan desanya menilai sangat tidak sepadan dengan serangkaian perlakuan yang berujung pembunuhan berencana.