Nasional, SAKATA.ID: Minat baca Indonesia selalu dinilai rendah oleh lembaga-lembaga Internasional.
Seperti yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University (CCSU) Irlandia Baru pada 2016.
Hasil survei dari CCSU ini sempat viral di media sosial lantaran minat baca buku di negara ini berada di urutan ke-60 dunia.
Lalu, apa alasannya minat baca Indonesia ini rendah? Ulasan terkait ini ditulis oleh Lucty Gian Sukarno dalam akun Twitternya @lucktygs, Sabtu (29/5/2021).
“Selalu diungkit-ungkit tentang minat baca rendah. Tapi pernahkah tau alsannya kenapa Indonesia berada di bawah?,” tulisnya.
Dia membeberkan bahwa standar UNESCO, setiap tahunnya satu orang membaca minimal tiga buku. Sementara ketersediaan buku di Indonesia ini sangat sedikit.
“Nah, kebayang tuh berapa buku yang harus tersedia untuk 270 juta penduduk Indonesia dikali 3 buku?,” ujar dia.
Jadi, lanjut dia, untuk rasio nasional di Indonesia yaitu 0, 09. Artinya, kata Lucty, satu buku ditunggu oleh 90 orang.
Ia juga membeberkan data ketersediaan atau jumlah buku yang ada di beberapa pulau di Indonesia, ini akan mempengaruhi tingkat minat baca.
Dia mengungkapkan di Pulau Jawa & Bali yang memiliki jumlah penduduk 154.025.849 jiwa, jumlah bukunya hanya 11.164.469 eksemplar. Ini berarti rasio 0,58.
Kemudian di Sumatera dengan jumlah penduduk 58.417.865 jiwa, jumlah buku hanya 6.046.907 eksemplar. Rasio: 0,10.
Di Kalimantan jumlah penduduk 16.454.638 jiwa. Dan jmlah bukunya 2.059.202 eksemplar: Rasio: 0,60.
Lalu di Sulawesi & Nusa Tenggara. Jumlah penduduk 31.001.007 jiwa. Jumlah buku tersedia 2.337.578 eksemplar: Rasio 0,63.
Di Maluku & Papua, jumlah penduduk 8.683.647 jiwa jumlah buku 709.927 eksemplar. Rasio: 0,38.
Bagaimana agar Minat Baca Indonesi Semakin Tinggi
Menurutnya, Indonesia tentu belum bisa memenuhi standar UNESCO dalam hal minat baca. Yakni harus tiga buku setiap tahun untuk satu orang.
Sementara Asia Timur, Eropa dan Amerika Serikat rata-rata sudah mampu 15-30 buku per tahunnya. Akan jauh dengan minat baca Indonesia.
“Tau darimana data ini? Kalo sering ikut webinar-webinar yang diadakan Perpusnas, bapak kepala Perpusnas Muh Syarif Bando sering membahas ini,” bebernya.
Dia menegaskan bahwa sudah bukan saatnya lagi menghakimi Indonesia memiliki budaya baca yang rendah.
Menurutnya, bagaimana budaya baca Indonesia bisa tinggi jika jumlah bukunya saja masih kurang.
Saat ini, tegas dia, rasanya sudah tidak relevan lagi untuk terus mengungkit-ungkit tentang tingkat minat baca Indonesia.
“Yang paling penting sekarang adalah tingkat ketersediaan sarana prasarana untuk membaca yang perlu ditingkatkan,” tegas Lucty.