Repdem Minta PCR Berbayar Dihentikan: Jangan Berbisnis di Tengah Derita Rakyat

Repdem
Sekjen DPN Repdem, Abe Tanditasik/Ist

Nasional, SAKATA.ID: Relawan Perjuangan Demokrasi atau Repdem meminta sejumlah pihak untuk tidak menjadikan Covid-19 sebagai komoditi bisnis, khususnya dalam tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

Organisasi sayap aktivis pro demokrasi PDI Perjuangan ini menerima beberapa pengaduan dari masyarakat dan langsung melakukan investigasi ke lapangan.

Bacaan Lainnya

Hasilnya, ada beberapa catatan penting, pertama soal test PCR yang memakan waktu berhari-hari. Bahkan lebih dari seminggu untuk mendapatkan hasilnya.

Repdem mengungkap, masyarakat yang melakukan test PCR di puskesmas secara gratis harus rela menunggu hasil PCR begitu lama. 

Sementara di tempat yang berbayar, hasil tes bisa didapatkan kurang dari 24 jam. Tarif yang ditarik pengelola PCR bervariasi. Antara Rp450 ribu sampai Rp1,3 juta. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPN Repdem, Abe Tanditasik mengatakan, melihat hal itu tentu menggelikan. Mengingat pasien terinfeksi Covid-19 atau mempunyai gejala justru harus cepat diisolasi dan dibantu kebutuhan hidupnya selama masa isolasi. 

Sebelum wajib tes PCR, kata dia, Pemerintah hanya mewajibkan swab antigen yang hasilnya bisa didapat dalam waktu 15-40 menit. Dan dapat dilihat oleh orang yang datang untuk diantigen. Jika ditemukan positif, lanjut dia, baru dilakukan test PCR. 

Namun sekarang, ungkapnya, Pemerintah justru seperti membiarkan penyebaran Covid-19 lebih cepat. Lantaran mewajibkan PCR sementara hasilnya entah kapan. 

Itu berarti, Abe mengatakan, tidak ada deteksi dini yang bisa mempercepat penanganan. 

Repdem: Ada istilah Silver, Gold, dan Platinum

Celakanya, ungkap Abe, banyak tempat penerimaan sampel test PCR ternyata tidak punya alat uji labnya. 

Lembaga atau tempat penerima sampel test PCR tersebut harus membawa sampel SWAB ke laboratorium khusus dengan antrian sangat panjang. 

Di sinilah, ungkap dia, permainannya. Hingga muncul istilah ‘silver, gold dan platinum’. Semakin besar biaya yang dikeluarkan, maka semakin cepat mendapat hasil. Mafia kesehatan meraup untung besar di tengah penderitaan rakyat. 

Investigasi Repdem mengungkap bahwa untuk ‘silver’, syukur-syukur hasilnya keluar, minimal sepuluh hari. 

Namun kalau ternyata positif dan keburu meninggal dunia karena fasilitas kesehatan pemerintah ‘mempunyai keterbatasan alat uji’ ya sudah. Pada akhirnya, malah menjadi bisnis pemakaman. 

Bahkan, ujar Abe, Repdem sempat menemukan salah satu ibu kota propinsi yang hanya mempunyai satu lab penguji. Semua lab penerima mengirim sampel ke sana. 

Lab swasta tersebut mematok harga minimal Rp900 ribu. “Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan sampel yang dibawa dari puskesmas?,” kata Abe.

Kembalikan ke Swab Antigen Gratis

Maka dari itu, ujarnya, Repdem menyarankan untuk kembali ke test swab antigen secara gratis dan petugas menjemput bola. Harus diatur supaya penanganan pandemi bisa lebih cepat. 

Ia meminta kepada BUMN dan BUMD kesehatan pun jangan hanya menjadi makelar. Menjual obat dan vitamin jangan menggunakan HET. 

“Ini sedang dalam tindakan penyelamatan. Bukan melulu bisnis,” kata dia.

Belum lagi soal ketersediaan oksigen, kata Abe, sampai saat ini belum tertangani dengan baik. 

“Pemerintah bertindak cepat, bukan meminta buzzer untuk bikin pencitraan terus sembari membiarkan rakyat menderita,” tegas Abe.

“Buatlah swab antigen gratis sampai ke kampung-kampung, perbanyak lab PCR gratis di apotek-apotek pemerintah. Kasihan rakyat kalau isi kepalanya cuma eceran tertinggi terus,” lanjut dia.

Kemudia yang kedua, katanya, Repdem menyarankan supaya vaksinasi terus dipercepat dengan jemput bola. Terutama untuk di luar Jakarta. 

“Bagaimana mungkin satu puskesmas kecamatan di Jawa. Hanya mampu melayani 100 vaksin per hari. Mustahil kejar target herd immunity kalau polanya seperti itu,” paparnya.

Ia menilai, ada sebagian warga yang pilih-pilih vaksi. Bagi masyarakat yang masih menunggu vaksin merek tertentu harus diedukasi. 

Bahwa mereka boleh saja menunggu merek tersebut. Tetapi sekarang harus divaksin dengan vaksin yang tersedia terlebih dahulu. Hal tersebut untuk tindakan preventif pencegahan penularan. 

Berlakukan New Normal

Repdem berharap Pemerintah kembali memberlakukan new normal. Selama sebulan pengekangan ini yang terjadi bukan hanya mati covid, tapi mental masyarakat menjadi depresi karena tidak bisa mencari penghidupan. Sementara bantuan tak kunjung datang. 

Di perkotaan seperti Jakarta saja, ungkap Abe, kaum urban yang bekerja informal dan tidak ada yang terdaftar bantuan, karena patokannya Nomor Induk KTP atau NIK bukan keberadaannya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *