RUU Ciptaker Dinilai Sebagai Kado Pahit Hari Tani

Nasional, SAKATA.ID : Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) menjadi kado pahit peringatan Hari Tani Nasional 2020. 

RUU Ciptaker dinilai tidak mempunyai keberpihakan jelas kepada nasib petani. Bahkan kian meminggirkan peran petani dalam proses pembangunan nasional.

Bacaan Lainnya

Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (DPN) Gerbang Tani Idham Arsyad saat membuka Peringatan Hari Tani, di Jakarta, Kamis (24/9/2020).

“RUU Ciptaker merupakan ancaman nyata bagi petani di Indonesia. Dengan kondisi petani yang saat ini serba terbatas, mereka dipaksa untuk bersaing dengan berbagai produk impor,” ujar Idham.

Pasal 66

Dia menjelaskan ancaman nyata bagi petani Indonesia tersebut terdapat pada Pasal 66 RUU Ciptaker. 

Pasal tersebut dihadirkan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. 

Dalam rancangan aturan tersebut tertulis ‘Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan’. 

“Ini artinya bahwa dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional kedudukan hasil impor posisinya sama dengan hasil produksi dalam negeri,” katanya.

Padahal, lanjut Idham, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 dinyatakan bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pangan ini, pemerintah harus mengutamakan produk dalam negeri.

Idham menegaskan, apabila RUU Ciptaker sampai disahkan maka, Pemerintah mempunyai dasar hukum untuk melakukan impor dengan semena-mena. Kondisi ini, ujarnya, tentu akan merugikan para petani. 

Alasan Impor Lebih Murah

Ketua Gerbang Tani ini juga menjelaskan bahwa bukan rahasia umum jika produk pertanian Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan produk impor. 

Dia menjelaskan, kondisi ini terjadi karena biaya produksi yang ditanggung petani di tanah air memang jauh lebih besar. 

“Banyak faktor yang membuat biaya produksi petani di Indonesia lebih besar. Keterbatasan kepemilikan lahan, ketidakjelasan subsidi pupuk dan alat pertanian, hingga rendahnya jaminan serapan pasar,” beber Idham.

Dengan kondisi seperti itu, ucapnya, para petani Indonesia harus bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Jelas petani Indonesia akan kalah total.

Selain RUU Ciptaker yang mengancam kedaulatan pangan Indonesia, ldham juga mempertanyakan komitmen negara dalam melakukan Reforma Agraria. 

Janji untuk melakukan reditribusi lahan seluas sembilan juta hectare juga tak kunjung terealisasi. 

Program bagi-bagi sertifikat hanyalah proses legalisasi dari lahan yang memang milik petani.  

“Problem nyata dari petani kita adalah kecilnya skala ekonomi dari produksi mereka. Hal itu terjadi karena sempitnya lahan yang mereka miliki,” jelas Idham.

Jadi yang dibutuhkan adalah lahan untuk bertani bukan sekadar sertifikasi dari lahan sempit yang sudah mereka miliki.

Butuh Reorientasi Pembangunan

Idham menegaskan, saat ini dibutuhkan gerakan reorientasi pembangunan berbasis pertanian seperti yang telah disuarakan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdul Muhaimin Iskandar. 

Menurutnya, gerakan ini merupakan langkah kongkret untuk menyelamatkan masa depan petani dan masa depan Indonesia. 

“Apalagi dalam situasi resesi ekonomi akibat Pandemi Covid-19 yang membuat hampir semua lini usaha tiarap. Pertanian merupakan satu-satunya bidang yang relatif bisa bergerak,” ujarnya.

Oleh karena itu, Gerbang Tani menegaskan, Pemerintah harus menarik RUU Ciptaker klaster pertanian dan segera melakukan reorientasi pembangunan berbasis pertanian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *