Kolom Agama, Politik, dan Pelanggaran HAM terhadap Penghayat Kepercayaan Lokal

Penghayat Kepercayaan Lokal
Penghayat Kepercayaan Lokal Masih Mendapatkan Diskriminasi (Foto: Net)

Menjadi umat pemeluk atau penghayat kepercayaan lokal masih mendapat diskriminasi dalam bentuk pelayanan publik, pembatasan hak beribadat, hingga ke sikap intoleransi antar umat beragama.

Opini, SAKATA.ID: Selalu saja ada kelompok mayoritas dan minoritas di berbagai tempat di dunia. Tak dapat dibantah lagi, ketika berbicara tentang Indonesia maka mayoritas akan langsung disinonimkan dengan agama Islam. 

Bacaan Lainnya

Dilansir dari dataindonesia.id (2022), penganut Islam di Indonesia mencapai 237,56 juta jiwa atau sekitar 86,7 % dari jumlah populasi penduduk Indonesia. Sisanya, sekitar 13,3 %, menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha ataupun agama dan kepercayaan lain.

Menjadi mayoritas menjadi privilege tersendiri. Namun bagaimana jika kita menjadi minoritas? 

Penulis tidak akan menyorot minoritas dari agama resmi yang diakui pemerintah, tetapi akan fokus pada agama atau kepercayaan lokal yang ada di Indonesia.

Pasal 18 Deklarasi Universal HAM dijelaskan bahwa hak untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama adalah hak yang dimiliki setiap orang. Hal ini sejalan dengan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam UUD 1945 menegaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.

Jaminan konstitusi ini juga mencakup kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan lokal.

Pasal 18 Deklarasi Universal HAM menyatakan setiap orang berhak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama.  Hal ini sejalan  dengan  Pasal 28E ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. 

Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Inilah jaminan konstitusi, terkait kebebasan rakyat untuk memilih agama termasuk memilih jadi penghayat kepercayaan lokal.

Pertarungan pengaruh ideologi di Indonesia kerapkali berakhir dengan konflik berdarah untuk menghapus jejak kelompok ideologi yang dikalahkan. 

Kekuatan mayoritas berhasil mengalahkan eksistensi Partai Komunis Indonesia. Pasca 1965, kekerasan fisik yang menewaskan ratusan ribu simpatisan PKI diikuti oleh kekerasan budaya untuk melegitimasi anti komunisme melalui sastra dan film (Herlambang, 2015).

Permasalahan muncul ketika pemerintah membuat regulasi yang  dimuat dalam UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penodaan, dan Penyalahgunaan Agama.

Menyatakan bahwa agama yang dianut masyarakat Indonesia adalah Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Khonghucu. Hal ini menimbulkan diskriminasi terhadap para penganut agama di luar agama yang diakui. 

Para penganut Sunda Wiwitan di Kuningan dan Marapu di Sumba banyak melakukan ‘eksodus’ ke dalam agama yang diakui.

Dan bagi mereka yang bertahan, mereka akan terhambat dalam memperoleh hak mereka sebagai warga negara seperti tidak memperoleh KTP.

Hal itu berimplikasi pada tidak diakuinya pernikahan oleh negara, tidak memperoleh akses kesehatan, tidak mendapat akta kelahiran, kesulitan melanjutkan pendidikan dan hak-hak mereka lainnya yang berkaitan dengan administrasi.

Pengidentifikasian PKI sebagai partai terlarang yang menolak agama membuat was-was para penghayat kepercayaan lokal. 

Benar saja, di era orde baru para penghayat kepercayaan banyak yang dituding sebagai komunis karena tidak hgmencantumkan agama di KTP-nya. Di Kuningan, para penganut Sunda Wiwitan dicap sebagai bagian dari partai Komunis (Sukmana, 2018). 

Ketakutan penganut Sunda Wiwitan diperlakukan sama dengan PKI memicu sebagian besar dari mereka masuk ke dalam agama Katolik (Gunadi, 2022). 

Pada tahun 1981, mereka menyatakan murtad masal dari Katolik dan kembali ke ajaran leluhur yang berakibat seluruh rangkaian upacara adat, peribadatan dan aktivitas mereka dilarang selama pemerintahan Orde Baru.

Regulasi pencantuman kolom agama di KTP mengingatkan Penulis pada konsep sensus atau Cacah Jiwa dalam buku karya Ben Anderson yang berjudul Imagine Community. Penjajah menghilangkan identitas keagamaan, memunculkan kategori-kategori cacah yang sangat eksklusif dan bersifat rasial. 

Kesultanan Cirebon yang menggolongkan orang menurut pangkat dan statusnya, sementara di Malaysia lebih menekan tempat sebagai pencacahnya seperti : Melayu, India dan China. 

Pencantuman agama di dalam KTP terindikasi merupakan bentuk antisipasi yang memudahkan kontrol pemerintah orde baru terhadap simpatisan PKI yang masih tersisa yang identik dengan penolakan terhadap agama.

Pertarungan politik berdasarkan ideologi akhirnya membuahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap para penghayat terkait kebebasan menjalankan kepercayannya.

Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan bahwa para pengahayat kepercayaan bisa mencantumkan kepercayaan mereka di dalam kolom agama di KTP. Ini adalah titik awal atas pemenuhan hak mereka sebagai warga negara. 

Keputusan tersebut mendapatkan rintangan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak hasil keputusan MK karena dianggap akan merusak tatanan yang merupakan konsensus politik pendirian negara Indonesia. 

Sejarah seperti terulang, di tahun yang sama, cikal bakal makam Sesepuh penganut kepercayaan Sunda Wiwitan disegel pemerintah dengan alasan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) di Kuningan. 

Arogansi mayoritas yang didominasi oleh ormas-ormas Islam terwujud dalam aksi. Mereka khawatir kalau makam tersebut dijadikan tempat kemusyrikan. 

Pertanyaanya, sejak kapan makam memerlukan IMB? Kalaupun dijadikan tempat peribadatan, ini khusus untuk penghayat kepercayaan, kenapa ikut campur? Kan beda agama? 

Perebutan pengaruh dalam politik terindikasi menjadi cikal bakal diskriminasi ini terjadi. Menjelang Pemilihan Bupati Kuningan 2018, suara mayoritas begitu berharga dibanding minoritas yang sedikit.  

Mendukung minoritas yang dianggap sesat oleh mayoritas berpotensi menggerus dukungan suara dari mayoritas. 

Terkait makam, Penulis teringat kasus Bung Karno yang karena alasan politik, makam beliau harus dipindah ke Blitar. Naasnya pada kasus Sunda Wiwitan dipukul dua alasan sekaligus, penyegelan bukan hanya karena alasan politik, tetapi juga karena alasan agama.

Para penghayat kepercayaan mengalami trauma panjang akan diskriminasi. Alasan mayoritas dan minoritas seharusnya tidak menjadi alasan untuk menyisihkan para penghayat kepercayaan. 

Di sinilah fungsi negara, untuk menegakan ayat-ayat konstitusi, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, termasuk penghayat kepercayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *