Nasional, SAKATA.ID: Sudah hampir dua tahun Indonesia dilanda Pandemi Covid-19. Bukan hanya merugikan dari sisi Kesehatan saja, Virus Corona sangat merusak tatanan ekonomi di negeri ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, yang terdampak Virus Corona ini adalah investasi dan produksi barang dan jasa.
Beberapa dampak yang paling terasa oleh masyarakat yakni, sejumlah barang menjadi mahal bahkan langka untuk ditemukan. Kemudian impor barang menjadi terhambat, dan kunjungan wisatawan mancanegara juga menurun.
Akibat dari krisis ekonomi ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan, pendapatan nasional bruto atau gross national income (GNI) per kapita Indonesia turun.
Pada tahun 2019, GNI perkapita Indonesia sebesar US$ 4.050, menjadi turun pada tahun 2020 menjadi US$ 3.870.
Akibat melorotnya pendapatan tersebut, Bank Dunia pun menurunkan status Indonesia dari negara yang berpendapatan menengah-atas menjadi menengah-bawah.
Febrio menegaskan, sampai saat ini dampak krisis kesehatan masih memberikan ketidakpastian terhadap ekonomi.
Jumlah Kasus Covid-19
Data pada hari Selasa (24/8/2021) pukul 12.00 WIB, kasus positif Covid-19 bertambah 19.106. Dari 123.844 orang yang diperiksa dalam 24 jam.
Sehingga jumlah kasus positif Covid-19 sampai 24 Agustus 2021 menjadi 4.008.166 orang.
Kemudian untuk kasus sembuh dari Covid-19, pemerintah Indonesia melaporkan adanya penambahan sebanyak 35.082 orang. Sehingga, total pasien yang telah sembuh menjadi 3.606.164 orang.
Sedangkan untuk data pasien yang meninggal dunia juga masih mengalami penambahan, sebanyak 1.038 orang. Sehingga pada 24 Agustus 2021, totalnya menjadi 128.252.
Tambahan pasien Covid-19 yang meninggal dunia tersebut, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan angka penambahan kematian harian tertinggi kedua di dunia, di bawah Amerika Serikat (AS) dengan jumlah 1.049 kematian.
Mana Dulu, Manusia atau Ekonomi?
Para epidemiolog beranggapan, menyelamatkan nyawa manusia tentu saja jauh lebih penting.
Maka dari itu, prioritas dari kebijakan pemerintah harus fokus pada penanganan krisis kesehatan.
Agus Sugiarto dalam Tulisannya ‘Menyelamatkan Manusia versus Ekonomi’ tanggal 15 Oktober 2021, menyatakan bahwa beberapa epidemiolog beralasan bahwa nyawa manusia itu tidak bisa dinilai dengan uang.
Lantaran, hilangnya nyawa manusia tidak bisa digantikan dengan uang, berapa pun besar nilainya.
Ia juga mengungkap, dosen di beberapa universitas di AS dan Taiwan, yakni Dr Yenting Chen pernah menyampaikan bahwa cara terbaik untuk menyelamatkan ekonomi selama pandemi adalah dengan menyelamatkan jiwa manusia terlebih dahulu.
Karena dia menganggap, kematian seseorang akibat pandemi menyebabkan hilangnya potensi produktivitas dan konsumsi manusia secara permanen.
Agus menilai, pemikiran kubu ini masuk akal. Bahwa benar, nyawa manusia memiliki nilai yang berharga. Tidak hanya untuk saat ini. Namun juga untuk masa depan.
Beberapa negara juga melakukan konsep penyelamatan manusia terlebih dahulu ketimbang ekonomi. Seperti di Korea Selatan, Vietnam, Denmark, Singapura, dan Australia.
Negara-negara ini adalah contoh yang sangat peduli terhadap keselamatan manusia, dibandingkan dengan pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, ada yang kontra terhadap konsep tersebut. Beberapa ekonom, kata Agus, ada kelompok ekonom yang melihat sudah saatnya memulihkan ekonomi.
Menyelamatkan ekonomi untuk mencegah kehancuran lebih dalam dan jangka yang panjang.
Pemimpin yang memprioritaskan penyelamatan ekonomi adalahPresiden AS Donald Trump.
Sejak awal pandemi Covid-19, Agus melihat, kebijakan penyelamatan AS terlebih dahulu untuk mencegah kehancuran ekonomi.
Kebijakan serupa juga diambil Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Kemudian ada Swedia yang lebih mengutamakan ‘herd immunity’ untuk memerangi penyebaran Covid-19. Sehingga jalannya roda perekonomian di Swedia tidak terganggu.
Menyelamatkan Nyawa Manusia atau Ekonomi? Tak Perlu Dilema
Padahal, hal itu bukanlah pertentangan. Menyelamatkan ekonomi dan nyawa manusia bisa dilakukan bersamaan.
Seperti konsep yang disodorkan Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Ia telah menerbitkan dua buku yang berisi pengalamannya dalam menangani krisis selama memimpin Indonesia 10 tahun.
Dua buku yang ia tulis yaitu ‘Dunia Damai Jika Keadilan Tegak, No Justice No Peace’. Buku ini berisi 87 halaman.
Kemudian buku yang kedua adalah ‘Pandemi Covid-19, Jangan Ada Yang Dikorbankan. Manusia dan Ekonomi, Keduanya Dapat Diselamatkan’ dengan 108 halaman.
Pada Senin (10/8/2021) lalu, SBY memperkenalkan buku itu di Puri Cikeas, Jawa Barat.
Ia menegaskan, pemulihan ekonomi dan nyawa manusia atau kesehatan bukanlah dilema. Keduanya bisa sama-sama diselamatkan.
“Saya punya tesis melewati buku ini. Bahwa sebenarnya sangat bisa diselamatkan dua-duanya. Jangan ada yang dikorbankan,” ujar SBY.
Manusia, lanjutnya, tentu saja diutamakan penyelamatan jiwanya. Tetapi tidak perlu ekonomi menunggu sampai semuanya sudah aman.
Politisi Partai Demokrat Ricky Kurniawan menilai, buku yang dilahirkan SBY adalah masukkan dan solusi yang baik untuk pemerintah.
Namun sayangnya, kata dia, pemerintah tak mendengar resep yang diberikan SBY. Ricky menyayangkan hal itu.
Ia menyebut, pemerintah terlalu arogan dan jumawa. Sehingga enggan untuk mengikuti solusi dari SBY.