Nasional, SAKATA.ID: 27 Juli 1996 silam terjadi suatu peristiwa yang dikenal dengan Kudatuli atau ‘Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli’.
Kudatuli juga disebut sebagai serangan berdarah yang terjadi di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia atau DPP PDI (Saat ini PDI Perjuangan), di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat.
Sejak pagi hingga malam hari itu, peristiwa Kudaruli digambarkan sebagai suasana yang mencekam. Terjadi bentrokan massa, aksi membakar bangunan, kendaraan.
Ketika itu, ada pengambilalihan paksa kantor DPP PDI. Dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi.
Soerjadi yang saat itu menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1992-1997 adalah Ketua DPP PDI. Ia terpilih kembali dari hasil Kongres Medan yang digelar 20-22 Juni 1996 itu, dan Buttu Reinhart Hutapea sebagai sekretaris jenderal.
Kudatuli terjadi diduga karena pendukung Soerjadi tak terima dengan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta 22 Desember 1993 yang menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998.
Sabtu pagi kala itu, sekitar pukul 08.00 WIB., tanggal 27 Juli seorang wartawan Harian Tebit bernama Andoes Simbolon menerima pesan dari Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Jakarta Selatan, Audy I.Z. Tambunan melalui penyeranta.
Isi pesan itu mengabarkan kantor DPP PDI diserbu massa. Seperti dikutip Tirto, ketika itu Simbolon baru bangun tidur. Ia kaget membaca pesan bahwa ada keributan di Gedung PDI.
Simbolon langsung berangkat ke Diponegoro, suasana di lokasi sudah ramai dan mencekam.
Ia melihat orang-orang yang disinyalir adalah pendukung Soerjadi. Mereka baru saja merangsek masuk gedung PDI sambil melemparkan batu.
Sementara di dalam gedung, ada kelompok pendukung Megawati. Mereka bertahan sembari melemparkan benda-benda seadanya untuk melawan.
Dua kubu di PDI itu makin yang sama-sama mengklaim sebagai pengurus yang sah dan berhak atas kantor DPP PDI.
Simbolon yang sudah tiba di tempat kejadian dicegat aparat. Meski begitu, ia masih bisa menyaksikan kerusuhan di gedung PDI.
Ia juga menggambarkan kerusuhan yang dijuluki peristiwa Kudatuli itu dalam buku kumpulan kesaksian wartawan terhadap Megawati dalam Bukan ‘Media Darling’ Biasa. Terbit tahun 2017.
Dalam ceritanya, ketika itu jalan di depan kantor DPP PDI sudah berantakan. Simbolon melihat bongkahan batu berserakan. Ada juga kayu balok, botol kosong, serta benda-benda lainnya.
Dilihat Simbolon dari kejauhan, di depan gedung DPP PDI itu juga ada kendaraan truk polisi yang terparkir. Dipenuhi aparat dengan peralatan lengkap.
Laporan Kompas pada 29 Juli 1996 menyebutkan bahwa para pendukung Soerjadi melemparkan batu ke arah kantor PDI itu sejak pukul 6.35 WIB.
Sementara aparat TNI dan Polri baru bisa menguasai kantor partai itu sekitar pukul 8.00 WIB. Setelahnya, aparat memblokade Jalan Diponegoro. Mereka mencegati orang-orang yang ingin mendekati gedung.
Kesaksian Maruarar Sirait dalam Peristiwa Kudatuli
Pada saat peristiwa Kudatuli itu, Maruarar Sirait masih berumur 26 tahun. Ia merupakan putra dari politikus PDI Sabam Sirait yang juga seorang simpatisan Megawati.
Ketika menerima kabar kerusuhan, ia lekas datang ke Diponegoro. Tibanya di sana, kata Maruarar seperti dikutip Detik, ia tak bisa masuk ke area gedung lantaran diblok aparat.
Ia mengaku, ikut melemparkan batu untuk membela temannya yang ada di dalam gedung PDI. Aksi saling lempar batu antara dua kubu itu berlangsung sekitar 1,5 jam.
Kerusuhan sempat mereda, dan pada pukul 08.30 WIB., belasan pendukung Megawati dibawa ke markas Kepolisian Daerah DKI Jakarta.
Ada sembilan orang yang terluka. Mereka yang terluka dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans.
Meski sudah kondusif, sejumlah kelompok LSM, mahasiswa, dan simpatisan pendukung Megawati terus berdatangan.
Mereka berkumpul di luar lingkaran penjagaan aparat TNI dan Polri sambil berorasi. Dan menyanyikan lagu-lagu protes.
Semakin siang, kelompok itu makin bertambah. Sekitar 10 ribu orang berkumpul di sana.
Orang-orang kampung di sekitar rel kereta api Cikini dan anak-anak tingkat SMA yang baru saja pulang sekolah turut berhimpun.
Sekitar pukul 2 siang, lempar-melempar batu kembali terjadi. Bahkan massa lebih berani. Aparat membalasnya dengan melempar gas air mata. Menyemprotkan water canon dan memukul mereka dengan pentungan.
Setelah diserbu aparat, massa tercerai-berai. Dan memicu kerusuhan yang lebih luas di Jakarta.
Jerome Tadie menyebut kerusuhan itu meluas ke Menteng di sepanjang Jalan Surabaya. Dan ke Salemba di sepanjang Jalan Proklamasi dan Diponegoro.
Rekaman kesaksian itu ditulus Jerome dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta 2009. Massa bergerak ke wilayah Senen kemudian ke selatan menuju Kampung Melayu.
Catatan Komnas Ham dalam Peristiwa Kudatuli
Sehari setelah peristiwa itu, Anggota Komnas HAM Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa mendatangi lokasi kerusuhan.
Keduanya memimpin tim investigasi pelanggaran HAM yang dikenang dengan nama Sabtu Kelabu itu.
Hasilnya, Komnas HAM mencatat ada lima orang tewas. 149 luka-luka. Dan 23 orang hilang.
Dari hasil investigasi itu, satu di antara orang yang diduga kuat dihilangkan usai peristiwa Kudatuli itu adalah Wiji Thukul.
Disebutkan juga ada enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut: pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat; pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut; pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi. Kemudian pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia. Dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Kekuasaan Orde Baru sudah beralih ke Reformasi, sudah melewati 25 tahun.
Namun kasus kerusuhan ini tak pernah diusut secara serius oleh negara. Bahkan ketika Megawati menjabat presiden periode 2001-2004.
Saat ini PDI Perjuangan menjadi partai pemenang. Hingga mendudukkan Joko Widodo atau Jokowi ke Istana dua periode.
Tak ada kejelasan dari penuntasan kasus peristiwa Kudatuli.