Karut-marut Program Petani Milenial Dikeluhkan Peserta, Ini Tanggapan Emil

Program Petani Milenial
Banyak Masalah di Program Petani Milenial yang Dibanggakan Ridwan Kamil (Foto/Ist)

Regional, SAKATA.ID: Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sering banggakan program Petani Milenial, namun ternyata tak sedikit peserta yang mengeluhkannya.

Sebelumnya, Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, menjelaskan bahwa program itu bertujuan untuk menciptakan petani muda dan mengatasi krisis pangan.

Bacaan Lainnya

Hanya saja, di balik program tersebut, terdapat sejumlah masalah pilu yang dihadapi para petani muda. Keluhan diungkapkan salah seorang peserta Petani Milenial angakatan pertama, Rizky Anggara (21).

Ia mengaku, akibat mengikuti program itu, dia dan peserta lainnya yang harus dikejar utang bank.

Rizky mengaku, mengikuti program tersebut karena tergiur atas tawaran keberhasilannya.

Pada saat pertama kali program itu dibuka, ada sekitar 9 ribu milenial yang mendaftar untuk mengikutinya.

Angka tersebut kemudian diseleksi kembali. Hingga terkumpul 20 orang Petani Milenial untuk angkatan pertama. Mereka berusia 20 hingga 30 tahun.

Peserta yang terpilih untuk mengikuti program itu berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat. Mereka dikumpulkan di Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) untuk menggarap budidaya tanaman hias.

Dari 20 peserta yang terpilih, Rizky ditunjuk menjadi ketua angkatannya.

Proses budidaya tanaman hias itu dimulai sejak Juli 2021. Tanaman hias yang dibudidaya peserta terdiri dari jenis Amydrium Silver, Scindapsus Lucens, dan Homalomena Frog.

Selanjutnya, proses budidaya dilanjutkan oleh kelompoknya. Dan masih bisa dikatakan aman, walaupun ada masalah hama, itu pun dianggap wajar.

Rizky mengungkapkan, dalam program itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai penyelenggara program. Kemudian, ada CV Minaqu Indonesia sebagai offtaker sekaligus penyedia indukan tanaman.

Lalu ada PT Agro Jabar sebagai penjamin peminjaman uang ke bank. Dana untuk pengadaan indukan tanaman. Lantaran biaya penyelenggaraan program itu tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tapi melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke bank.

Misalnya, jelas dia, dia diberi kita 300 tanaman indukan oleh CV. Minaqu Indonesia. Peserta memperbanyak lagi, dari 300 menjadi 900. Itu hitungan per orang.

“Nah yang 900 itu. Nanti dibawa menjadi hasil panen gitu per orang,” kata Dicky.

Ia melanjutkan, selang setahun program berjalan, para Petani Milenial itu 4 kali memanen hasil dari budidaya tanaman hias. Dan nilai penjualannya mencapai sekitar Rp 1,3 miliar.

Namun, uang hasil panen yang seharusnya diterima oleh para petani muda itu tidak kunjung dibayar CV Minaqu Indonesia.

Sampai sekarang, lanjut dia, akhirnya CV Minaqu ini belum membayar panen kurang lebih Rp 1 miliar.

Di sisi lain, para peserta program itu dikejar utang bank. Menurut Rizky, setiap peserta ditagih utang oleh bank Rp 50,2 juta.

Dengan tak dibayarnya hasil panen itu, Rizky mengaku kebingungan untuk membayar utangnya ke bank.

Alhasil, karena buruknya pembayaran utang ke bank. Nama para peserta itu tercoreng dari perbankan.

Rizky mengungkapkan, ada salah seorang peserta yang sampai didatangi ke rumahnya oleh pihak bank untuk mengkonfirmasi soal pembayaran utang.

Ia pun sudah mengadu ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat terkait permasalahan itu. Tapi, pihak Pemprov disebutnya seakan lepas tangan.

Menurutnya, Pemprov Jawa Barat seakan tidak mau tahu sama persoalan ini. Bahkan mereka membuat lagi gelombang yang baru sampai ada 10, gelombang petani milenial.

“Padahal kan. Yang gelombang 1 aja belum beres,” tegas dia.

Kini, para peserta program petani milenial dan PT Agro Jabar melalui pengacaranya. Mereka sedang berupaya agar CV Minaqu Indonesia segera membayar uang hasil panen para petani.

Rizky menyebut, sumber masalahnya sudah jelas dari Minaqu. Hanya saja, respons dari Pemprov Jwwa Barat yang benar-benar lambat.

“Dan bahkan. Kita kayak berjuang sendiri. Kita susah pribadi menghadapi korporat,” ungkap dia.

Emil: Kegagalan Program Petani Milenial Mencapai 30 Persen

Emil mengakui, kegagalan program ini mencapai angka 30 persen. Namun ia tetap optimistis gagasan itu akan mampu meregenerasi profesi petani yang ditinggalkan anak muda.

Emil juga meminta masyarakat lebih objektif lantaran setiap program ada yang berhasil ada pula yang gagal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *