Nasional, SAKATA.ID : Riuh pembicaraan terkait tanaman ganja yang dilegalkan Pemerintah. Namun, bagaimana maksud dari pelegalan itu.
Melalui Kementerian Pertanian (Kementan), Pemerintah memberikan penjelasan tentang legalisasi tanaman ganja.
Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugraha mengatakan, memang saat ini tanaman ganja masuk ke dalam daftar tanaman komoditas binaan Kementerian Pertanian.
BACA JUGA : Lapor Komdan ! 1 Hektar Ladang Ganja Berhasil Diamankan di Bandung
Dia juga menjelaskan, daftar mengenai tanaman yang masuk dalam komoditas binaan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian.
Menurutnya, pengaturan tersebut hanyalah bagi tanaman ganja yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis.
Atau, lanjutnya, ditanam untuk keperluan ilmu pengetahuan serta disebut legal apabila menurut Undang-Undang Narkotika.
Ia juga mengungkapkan bahwa sampai saat ini belum dijumpai satu pun petani ganja yang legal dan menjadi binaan Kementerian Pertanian.
Secara prinsip, katanya, Keputusan Kementerian Pertanian Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 itu sudah diperhitungkan dengan baik.
Apabila dikeluarkan izin budidaya tanaman itu akan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan.
Lantaran, penyalahgunaan dalam tanaman ganja menjadi bagian tersendiri dan memiliki pengaturan sendiri.
Kementerian Pertanian begitu konsen dan mendukung penuh dalam pemberantasan penyalahgunaan psikotoprika.
Penolakan Keputusan Kementan
Pelegalan tanaman ganja mendapat penolakan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Terutama dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Krisno Halomoan Siregar Bareskrim Polri menolak legalisasi ganja untuk kebutuhan medis.
Hal itu disampaikannya setelah menggelar rapat bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kementerian atau lembaga terkait lainnya, pada Sabtu (27/8/2020) lalu.
Krisno mengungkapkan bahwa dalam rapat itu seluruh peserta tidak menyetujui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO 5.4 dan 5.5 tentang rencana legalisasi narkotika jenis ganja.
BACA JUGA : Bandar Narkoba Pemasok di Priatim Ditangkap Polisi
Krisno mengungkapkan bahwa ada beberapa alasan kenapa ganja untuk medis mendapat penolakan.
Pertama, katanya, tanaman yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan ganja yang tumbuh di Eropa, Amerika, dan negara lainnya.
Perbedaannya itu terungkap dari hasil penelitian. Yang menyatakan bahwa di Indonesia memiliki kandungan THC tinggi yakni sebesar 18 persen dan CBD rendah 1 persen.
Sementara kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif.
Kedua, lanjutnya, ganja yang dapat digunakan untuk pengobatan, seperti epilepsi, berasal dari hasil budidaya rekayasa genetik. Yang menghasilkan kandungan CBD tinggi dan kandungan THC rendah.
Sementara, untuk kandungan yang ada di lokal bukan jenis yang tepat untuk pengobatan.
Ketiga, lanjutnya, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di dalamnya mengatur terkait ganja sebagai Narkotika Golongan 1.
Maka, ada sanksi terhadap penyalahgunaannya. Sementara produk undang-undang tersebut harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia.
Selain Polri BNN juga menolak adanya legalisasi yang dimaksudkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
Permentan Dicabut
Banyaknya pihak yang menolak ganja sebagai tanaman obat membuat Kementerian Pertanian (Kementan) berfikir ulang.
Akhirnya Kementan mencabut aturan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian.
Dengan dicabutnya aturan itu, maka tanaman tersebut tetap tidak bisa ditanam secara legal.
Kata Tommy, Kementan mencabut beleid itu karena perlu kajian lebih lanjut dengan pemangku kepentingan lain.
Kemenpan Mencla-mencle
Anggota Fraksi Partai Demokrat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menilai Kemenpan mencla-mencle.
Setelah ramai pemberitaan tentang ganja yang masuk dalam komoditas tanaman obat, baru mencabutnya.
Sikap mencla-mencle tersebut, katanya, sudah biasa dilakukan Pemerintah. Seharusnya antar lembaga lebih bisa berkomunikasi dengan baik.
“Kasihan publik oleh ketidakbecusan ini,” tegasnya.