Internasional, Sakata.id: Akhir perdagangan pada Selasa (8/6/2021) pagi, dolar Amerika Serikat (AS) tergelincir, tertekan imbal hasil obligasi pemerintah AS yang tetap lemah di tengah penguatan euro dan pounds Inggris.
Selain itu, melemahnya dolar AS tersebut terjadi ketika para investor menantikan pertemuan bank sentral Eropa dan Amerika Serikat.
Berdasarkan data dari pekerjaan AS pada hari Jumat (4/6/2021) lalu, telah memberikan tekanan pada dolar, karena investor bertaruh bahwa pertumbuhan pekerjaan tidak cukup kuat untuk meningkatkan ekspektasi Federal Reserve AS memperketat kebijakan moneternya.
Kemudian langkah tersebut berlanjut pada Senin (7/6/2021), dengan imbal hasil obligasi pemerintah bertahan lemah, setelah penurunan pada Jumat (4/6), mengurangi permintaan untuk mata uang AS.
Direktur Pelaksana analisis mata uang global di Action Economics, Ronald Simpson mengatakan, imbal hasil obligasi pemerintah sedikit lebih tinggi pada sesi ini, meskipun tetap jauh di bawah level yang terlihat sebelum laporan ketenagakerjaan.
“Hal ini kemungkinan menjadi pendorong pelemahan dolar AS pada Senin (7/6/2021) kemarin,” kata Simpson.
Mata Uang Euro Menguat 0,23 persen
Oleh karena itu, mata uang euro menguat 0,23 persen menjadi 1,2194 dolar AS. Sementara, dolar AS juga jatuh 0,23 persen menjadi 109,26 yen Jepang.
Alhasil, Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya merosot 0,21 persen pada 89,946.
Lalu, untuk imbal hasil obligasi Pemerintah AS 10-tahun yang dijadikan acuan terakhir di 1,569 persen. Mereka turun menjadi 1,560 persen dari 1,628 persen pada Jumat (4/6/2021).
Terpisah, Kepala Strategi Valas Amerika Utara di CIBC Capital Markets, Bipan Rai mengaku pada titik ini sepertinya pasar benar-benar ingin mendapatkan posisi short dolar.
“Bagi kami, itu menunjukkan ada risiko mengejar langkah ini. Yang dimaksud ini adalah posisi yang ramai. Anda sudah mendapatkan bagian pasar yang cukup besar, yang merupakan net short dolar AS, jadi jika kita merasa perlu mengguncang posisi tersebut,” ucap Rai.
Dikatakan Rai, ada ‘beberapa risiko dolar akan reli’, dirinya mencatat bahwa investor sedang menunggu pertemuan Federal Reserve pada minggu depan.
Pelaku Pasar Akan Melihat Data Inflasi AS
Oleh sebab itu, pelaku pasar pun akan melihat data inflasi AS dan pertemuan Bank Sentral Eropa, keduanya pada hari Kamis (10/6/2021) mendatang.
Sementara itu, Retorika dovish dari pembuat kebijakan ECB menunjukkan bank tidak terburu-buru untuk memperlambat laju pembelian di bawah Program Pembelian Darurat Pandemi (PEPP) 1,85 triliun euro (2,24 triliun dolar AS).
Menurut perhitungan Reuters dan data Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas AS yang dirilis pada Jumat (4/6/2021) lalu, spekulan menurunkan posisi net short dolar mereka di minggu terakhir.
Hal tersebut berdampak pada investor mata uang yang telah mengabaikan berita bahwa Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara kaya lainnya mencapai kesepakatan pada Sabtu (5/6/2021).
Kesepakatan itu bertujuan untuk memeras lebih banyak uang dari perusahaan multinasional yakni, Amazon dan Google, serta mengurangi insentif mereka untuk mengalihkan keuntungan ke surga pajak rendah di luar negeri.
“Mereka itu memperkirakan akan mencapai semacam kesepakatan dari CIBC. Tetapi investor kemungkinan akan lebih berhati-hati dalam bertaruh karena ‘Jalannya panjang dan memiliki banyak risiko’,” terang Rai.
Berbeda halnya dengan dolar Australia, yang dipandang sebagai proksi untuk selera risiko, ada kenaikan sebesar 0,22 persen versus dolar AS di 0,776.
Namun, di pasar mata uang kripto, Bitcoin turun 0,83 persen menjadi 35.507 dolar AS, sementara Ether turun 0,61 persen menjadi 2.693 dolar AS.