Politik, SAKATA.ID: Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tak sesuai konstitusi atau inkonstitusional bersyarat.
Keputusan MK itu keluar pada 2021 lalu. Dari 9 hakim MK, sejumlah 5 hakim mengabulkan permohonan uji materi. Dan 4 hakim lainnya menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.
Dalam pertimbangannya, hakim MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja itu tidak lah jelas. Apakah metode tersebut adalah membuat Undang-Undang baru atau melakukan revisi.
Selain itu, hakim MK juga menilai, dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik. Meskipun dalam pelaksanaannya sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.
Namun, dari penilaian hakim MK, pertemuan itu belum sampai pada tahap subtansi pembentukkan UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja, dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Kemudian MK memberi waktu kepada pemerintah memperbaiki Omnibus Law UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu selama 2 tahun.
Apabila setelah 2 tahun tidak ada perbaikan, Omnibus Law UU 11 Tahun 2020 itu bakal dinyatakan tidak berlaku.
Ketika itu, Pemerintah memastikan akan melakukan perintah putusan MK tersebut. Pemerintah akan memperbaiki UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Perppu Keluar, Gantikan UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022) lalu.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan secara langsung terkait penerbitan Perppu tentang Cipta Kerja tersebut dalam siaran persnya di Kantor Presiden.
Ia menjelaskan, alasan pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja itu mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.
Di sisi geopolitik, dunia sedang menghadapi perang anatra Ukraina dan Rusia lalu konflik lainnya yang juga belum selesai.
Dari sisi ekonomi, kata Airlangga, Indonesia menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.
Selain itu lebih dari 30 negara sedang berkembang pun sudah masuk dalam daftar IMF, dan 30 negara lainnya mengantre masuk dalam daftar penerima bantuan dari IMF.