Nasional, SAKATA.ID: PT Pertamina masih mengalami kerugian walaupun harga Pertamax sudah dinaikkan dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter.
Dialnsir Kata data, penyebabnya adalah lantaran Pertamina membeli harga minyak mentah dengan harga pasar internasional senilai US$ 103 per barel.
Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Alfian Nasution mengungkapkan, selisih antara harga pembelian minyak dan penjualan BBM berdampak pada timpangnya cashflow Pertamina.
Penyebab lainnya adalah biaya operasional dan pajak yang turut menjadi pertimbangan dalam penentuan harga Pertamax yang baru.
Kenaikan harga Pertamax sebenarnya perlu diimbangi dengan kemampuan ekonomi dan kondisi masyarakat.
Mengingat, kata Alfian, Pertamax ini merupakan jenis bahan bakar umum yang tidak diberikan kompensasi dan subsidi. Ini pun akan menjadi risiko Pertamina.
Sehingga, ketika harga Pertamax dinaikkan, konsumsi atau penggunaan BBM Pertalite pun malah meningkat sebesar 15%.
Meski begitu, Pertamina pun terus mencoba menggaet para konsumen yang bermigrasi dalam masa transisi tersebut. Salah satunya dengan menawarkan sejumlah hadiah dan promo-promo melalui pembelian dari Aplikasi My Pertamina.
Alfian melanjutkan, apabila harga minyak dunia mengalami tren penurunan yang stabil dan bertahan lama. Maka BBM jenis Pertamax pun akan berpotensi menyesuaikan harga.
Lantaran hal ini masih tergantung pada harga minyak dunia, biaya produksi dan harga keekonomian.
Jika nanti harga minyak mentah dan harga produksinya itu di bawah Rp12.500 per liter. Pihak Pertamina juga akan mengoreksi harga Pertamax ini.
Menurutnya, mekanisme pasar tersebut yang bergantung pada pergerakan harga minyak mentah dunia.
Di sisi lain, Alfian menjamin BBM jenis Pertalite tidak akan mengalami kelangkaan karena Pertamina memiliki stok selama 19 hari ke depan.
Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmy Radhi mengungkapkan, adanya migrasi dari pengguna Pertamax ke Pertalite. Sejak harga Pertamax dinaikkan. Karena disparitas yang mencapai Rp 4.850 per liter.
Ia memperkirakan migrasi konsumen ini tidak terjadi secara besar-besaran. Kemungkinan pergeseran konsumsi hanya terjadi pada pengendara motor dan angkutan umum seperti taksi online.