Menggali Makna di Balik Safari Religi Manaqib Jawa-Madura-Bali

Safari Religi Manaqib
Safari Religi Manaqib TQN Suryalaya-Sirnarasa/Ist

Opini, SAKATA.ID: Konon ide Safari Religi Manaqib Jawa-Madura-Bali lahir saat Pandawa Lima melaksanakan umroh bersama para ikhwan TQN Suryalaya-Sirnarasa, beberapa waktu yang lalu.

Saat itu, K.H. Danial Luthfi mengatakan, jemaah umroh ingin mengadakan reuni di Bali. Tentu saja reuni dalam konteks dhoiriah, karena secara batiniah tidak ada reuni. Pada hakikatnya, berumroh itu selamanya. Setiap hari, bahkan setiap detik.

Bacaan Lainnya

Penetapan locus Bali menjadi tempat reuni tentu membawa magnet yang luar biasa bagi para jemaah. Bali sudah menjadi ikon pariwisata dunia. Bahkan banyak orang bule yang lebih mengenal Bali dibanding Indonesianya sendiri.

Siapa sih orang yang tidak mau pergi ke Bali? Bali telah hadir dalam setiap mimpi manusia di dunia ini. Tak heran jika Bali memang diciptakan Tuhan sebagai surga dunianya manusia.

Saya sendiri beli kaos dengan tulisan Bali Paradise. Paling tidak saya punya bukti autentik pernah datang ke ‘surga’nya mereka. He…

Saya sendiri bukan jemaah umroh bersama Pandawa Lima. Namun kok bisa bergabung dengan rombongan ini ya?

Bagi saya ini adalah takdir yang luar biasa. Sebuah panggilan khusus untuk mengikuti tour religi bersama para Ikhwan yang tiada henti berbalut bahagia. Bukankah kewajiban kita memang harus bahagia setiap saat? Terima kasih sudah diizinkan bergabung ya kawan-kawan.

Trip wisata Bali memang sudah menjadi agenda kami dan keluarga di tahun ini. Namun Abah (Syekh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul) membukakan jalan lebih awal.

Apalagi tour ini bersama Ikhwan TQN Suryalaya-Sirnarasa dalam bimbingan amaliyah Pandawa Lima. Ini lebih menarik dan lebih menantang. Apalagi ongkosnya super duper murah dengan agenda tujuan wisata yang padat. Hotel bintang 4 dengan bonus para dedemit serta makan gratis sebanyak 13 kali. Mantap lah Jawiyata Tour. Sawer Pak H. Rosyid lah. He..

Perjalanan safari atau wisata religi manaqib tiga pulau dengan tujuan akhir di Bali tentu tidak hanya bernuansa lahiriah saja. Tidak hanya menyampaikan jasad ini ke tempat tujuan dan mengambil barang bukti melalui foto bersama atau selfie.

Potret yang akan menjadi bukti sejarah, bahwa jasad kita pernah singgah di suatu tempat. Kelak akan diceritakan kepada anak, cucu, saudara, tetangga bahkan para janda dan duda (ah salah ketik. He..). Maksudnya pada para pecinta kesucian jiwa ataupun yang belum mau mencintai kesucian jiwa.

Lebih dari itu, ada dimensi lain yang tak kalah menarik dari sekedar trip wisata jasadiah. Yakni dimensi spiritual. Kita tidak sedang bercerita tentang kita. Tapi kita semua adalah cerita-Nya.

Ingat, awal perjalanan safari religi manaqib dimulai dari Sirnarasa dengan izin dan rida Sang Sirnarasa. Perjalanan rohani kita dimulai dari Nol. Dan sebaliknya, perjalanan dhohir dimulai dari perbekalan yang melimpah.

Hasilnya saat pulang terbalik. Rohani semakin berisi, sementara jasadiyahnya semakin berkurang, uang habis, badan terasa sakit. Dll . Iya kan? Hehe….

Rugilah kalau akhir perjalanan kita, berkurang semuanya. Lahiriyah berkurang, batiniahnya juga berkurang. Tak ada yang berisi. Dan saya yakin, semuanya pulang membawa setumpuk kebahagiaan lahir-batin. Bagi yang tidak mendapatkannya, boleh diulang. He…

Antara Kalisapu dan Bangkalan dalam Safari Religi Manaqib

Perjalanan rohani kita dimulai dari Sirnarasa (Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis). Ya dari titik Nol.

Tour wisata religi bagi Ikhwan TQN yang sesungguhnya adalah perjalanan antara Kalisapu ke Bangkalan. Dimana jasad dan rohani kita diperjalankan menapaki jejak Abah Sepuh (Silsalah ke-36), saat diperintah Syekh Tolhah (Silsilah ke-35) mengambil ijazah sholawat Bani Hasyim dari Syekh Kholil Bangkalan Madura.

Persinggahan kita berziarah dengan maqbaroh para waliyulloh yang lain lebih bermakna Tabarruk dibanding berziaroh kepada kedua tokoh ini.

Intinya memang sama-sama bertabaruk. Namun pada kedua Maqom ini Sirr kita hidup. Paling tidak dikedua Maqom ini ada hati yang luluh.

Bagaimana mungkin tidak luluh, sholawat Bani Hasyim yang sering kita ucapkan lewat bibir ini, bisa sampai kepada kita tanpa andil kedua tokoh Waliyulloh.

Bagaimana mungkin air mata ini tidak menetes saat mengenang perjuangan Abah Sepuh berjalan kaki dari Cirebon ke Bangkalan Madura hanya untuk mendapatkan ijazah Sholawat Bani Hasyim yang saat ini kita tinggal menikmatinya.

Lebih miris lagi ketika kita mendengar maqbaroh Syekh Tolhah yang telah dibangun Abah Anom dan Abah Aos sampai tiga kali kemudian dirusak oleh oknum masyarakat sekitar. Sungguh tak terbendung air mata ini jatuh.

Bagaimana mungkin juga hati kita tidak luluh saat duduk manis dalam bus sementara Abah Sepuh berjalan kaki menaklukkan panasnya siang dan dinginnya malam dari Kalisapu menuju Bangkalan.

Kita hanya kaum lemah, seperti debu yang tertiup angin dan terbang tanpa arah jika dibanding dengan perjuangan Abah Sepuh.

Beruntung kita memiliki Abah Aos, yang membimbing kita meneruskan perjuangan para ahli silsilah. Kewajiban kita adalah mengamankan, mengamalkan, dan melestarikan ajaran ini.

Masih ingatkah kita, saat salat magrib dalam perjalanan Cirebon menuju Demak. Ban mobil pecah. Di jalan tol lagi. Saya dan Kiai Sofa, saat itu, meyakini itulah kawasan Alas Roban, dimana Abah Sepuh melaksanakan salat magrib saat menuju Bangkalan.

Paling tidak, pada garis wilayah itulah kawasan Alas Roban (berada antara Pekalongan dan Kendal).

Ini bukan kebetulan, tapi sudah menjadi kepastian, kita bersama-sama bisa melaksanakan salat magrib di kawasan itu hingga khotaman selesai.

Alas Roban memiliki cerita menarik dalam dimensi rohani Abah Sepuh. Di tempat itulah 11 orang santri (12 orang bersama Abah Sepuh) yang diperintahkan Syekh Tolhah menemui Syekh Kholil Bangkalan undur diri.

Mereka, 11 santri, gagal bermakmum pada orang yang saat itu menjadi imam salat. Hanya Abah sepuh yang melanjutkan perjalanan.

Bersyukur kita tidak menjadi seperti ke-11 santri yang kembali ke Cirebon. Kita disampaikan hingga Madura. Alhamdulillahilladzi Faddholana ‘Alaa katsirin min ‘ibaadihil mu’miniin.

Sampai di pelataran parkir Bangkalan, belum juga turun bus. Air mata saya jatuh. Saya terbayang tentang Abah Sepuh, murid terbaik Syekh Tolhah. Begitu dahsyatnya perjuangan beliau untuk kita hari ini.

Saat berziarah ke maqbaroh Syekh Kholil, saya teringat Kiai Sofa yang menceritakan dirinya diperintah pangersa Abah Aos untuk meminta ijazah Bani Hasyim saat berziarah ke maqbaroh Syekh Kholil.

Karena perintah itu sampai di telinga saya, maka dalam tawajuh, saya memohonkan ijazah selawat Bani Hasyim atas rida dan izin pangersa Abah Aos.

Bagi Ikhwan TQN Suryalaya-Sirnarasa yang tidak meminta ijazah secara khusus, seperti yang disampaikan oleh K.H. Danial Luthfi, selawat Bani Hasyim telah diijazahkan oleh pangersa Abah Aos untuk kita amalkan. Alhamdulillah.

Walaupun Hanya dalam Waktu Singkat

Bangkalan memilki cerita tersendiri, walau hanya singgah sebentar. Karena diburu waktu. Padahal di sinilah kita patut berlama-lama. Menyambungkan rasa di kota selawat.

Namun demikian, di kota ini kami beruntung bisa mencicipi sate Madura di tempat asalnya. Tadinya, saya kira lebih nikmat dari sate Madura yang ada di daerah kami. Ternyata rasanya sama saja. Sama-sama sate. He..

Begitupun dengan selawat Bani Hasyim, dimanapun rasanya sama. Karena telah diramu oleh ahlinya. Yang jadi pertanyaan, rasa kita masih bebal atau tidak dengan kenikmatan rasa selawat ini.

Sebab, jangan-jangan hati kita sudah mati rasa, sehingga tidak dapat menikmati ramuan selawat ini. Wallohu ‘alam bisshowab..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *